WELCOME TO MY BLOG

Selasa, Juni 22, 2010

Komunikasi


Komunikasi dapat berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Jelasnya, jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi akan berlangsung. Komunikasi berarti proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Dalam definisi tersebut tersimpul tujuan, yakni memberi tahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior).
 Lingkup Teori Komunikasi
I. Teori Komunikasi Kelompok
Komunikasi dalam kelompok merupakan bagian dari kegiatan sebagian orang. Sejak lahir, seorang sudah bergabung dengan kelompok primer, yaitu keluarga. Seiring dengan perkembangan usia dan intelektual seorang akan masuk dan terlibat dalam kelompok sekunder, yaitu sekolah, lembaga agama, tempat kerja. Kelompok merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Melalui kelompok memungkinkan seorang dapat berbagi informasi, pengalaman, dan pengetahuan dengan anggota kelompok lain.
II. Teori Komunikasi Organisasi
Komunikasi merupakan tindakan untuk berbagi informasi. Tindakan komunikasi tersebut dalam beragam konteks, salah satunya dalam konteks organisasi. Dalam konteks organisasi, pemahaman–pemahaman mengenai peristiwa komunikasi yang terjadi didalamnya, contoh komunikasi antara karyawan dan atasan. Komunikasi merupakan aspek penting dalam suatu organisasi, baik organisasi profit maupun nonoprofit.
III. Teori Komunikasi Massa
Marshall McLuhan menyatakan bahwa kita hidup pada suatu ‘desa global’. Pernyataan ini mengacu pada perkembangan media komunikasi modern yang telah memungkinkan jutaan orang didunia untuk dapat berhubungan dengan hampir setiap sudut dunia. Komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan secara luas kepada publik. Fokus kajian dalam komunikasi massa adalah media massa.
Secara teori, pada satu sisi konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publuk secara luas. Namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience.
 Teori Komunikasi Manusia
i. Teori Model Lasswell
Seorang ahli ilmu politik Amerika Serikat, Harold Lasswell, dalam artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model komunikasi yang sederhana dan sering dikutip banyak orang yakni: Siapa (Who), berbicara apa (Says what), dalam saluran yang mana (in which channel), kepada siapa (to whom) dan pengaruh seperti apa (what that effect).
Pertanyaan-pertanyaan Lasswell meskipun sangat sederhana atau terlalu menyederhanakan suatu fenomena komunikasi massa, namun sangat membantu mengorganisasikan dan memberikan struktur pada kajian terhadap komunikasi massa. Selain dapat menggambarkan komponen-komponen dalam proses komunikasi massa, Lasswell sendiri menggunakan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk membedakan berbagai jenis penelitian komunikasi.
ii. Stimulus Respon
Teori stimulus respons ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, dimana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience. Elemen-elemen utama dari teori ini adalah : pesan (stimulus), penerima atau receiver (organism), dan efek (respon). Dalam masyarakat massa, dimana prinsip stimulus-respons mengasumsikan bahwa pesan informasi dipersiapkan oleh media dan didistribusikan secara sistematis dan dalam skala yang luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat diterima oleh sejumlah besar individu, dan sejumlah individu itu akan merespons pesan informasi itu.
iii. Komunikasi Dua Tahap dan Pengaruh Antarpribadi
Mengacu pada Sedjaja, teori komunikasi dua tahap dan konsep pendapat memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut :
 Individu tidak terisolasi dari kehidupan social, tetapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial.
 Responds dan reaksi terhadap pesan dan media tidak terjadi secara langsung dan segera tetapi melalui perantara dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial.
 Ada dua proses yang berlansung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan yang kedua berkaitan dengan respons dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap pentyampaian informasi.
 Individu tidak bersikap sama terhadap pesan media, melainkan memiliki berbagai pesan yang berbeda dalam proses komunikasi.
 Individu-individu yang berperan lebih aktif ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar.
Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak bekerja dalam suatu situasi sosial yang pasif, tetapi memiliki suatu akses kedalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks. Dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, dan kekuasaan lainnya.
iv. Difusi Inovasi
Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi. Perubahan seperti di atas dapat terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui kontak dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu lama.
Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat tersebar. Teori ini berkaitan dengan teori massa, sasaran dalam pelaksanaannya adalah para petani dan anggota masyarakat pedesaan.
v. Teori Agenda Setting
Teori ini diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw, asumsi dasar teori ini bahwa jika media member tekana pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi masyarakat atau khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Khalayak tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa arti penting diberikan pada suatu isu atau topic dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut.
vi. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa
Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Malvin memfokuskan perhatiannya pada kondisi structural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya efek media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suayu pendekatan struktur social yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat modern, dimana media massa dapat dianggap sebagai system informasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tatanan masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas social.
Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa bagi sumber informasi bai pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya.
vii. Teori Spiral of Silence
Teori ini menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan terletak dalam suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antarpribadi, dan persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubunganya dengan pendapat orang lain dalam masyarakatnya. Ada hubungan yang signifikan antara persepsi dengan pendapat mayoritas, pengungkapan pendapat pribadi, kecenderungan dalam isi media, dan pendapat para jurnalis.
viii. Teori Information Gaps
Latar belakang pemikiran ini terbentuk oleh arus informasi yang terus meningkat, yang sebagian besar dilakukan oleh media massa. Secara teoritis peningkatan ini akan menguntungkan setiap orang dalam masyarakat karena setiap individu memiliki kemungkinan untuk mengetahui yang terjadi disekelilingnya. Namun, informasi sering kali menghasilkan efek negative, dimana peningkatan pengetahuan pada kelompok tertentu akan menjauh dan meninggalkan kelompok lainnya. Dalam hal seperti ini information gaps akan terjadi dan terus meningkat sehingga menimbulkan jarak antara kelompok social yang satu dengan yang lainnya.
ix. Uses and Gratification
Pendekatan uses and gratification ditunjukan untuk menggambarkan proses penerimaan dalam komunikasi massa dalam menjelaskan penggunaan media oleh individu atau agregasi individu. Pendekatan ini memberikan alternatif untuk memandang pada hubungan antara isi media dan audience. Katz menggambarkan logika yang mendasari pendekatan mengenai uses and gratifications ; Kondisi social psikologis seseorang akan menyebabkan adanya kebutuhan, yang menciptakan harapan-harapan terhadap media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa kepada perbedaan pola penggunaan media yang akhirnya akan menghasilkan pemenuhan kebutuhan dan konsekuensi lainnya, termasuk yang tidak diharapkan sebelumnya.
x. Teori Uses and Effects
Konsep uses (penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting atau pokok dari pemikiran ini. Karena pengetahuan mengenai penggunaan media yang penyebabnya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan tentang hasil dari suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media massa menjadi suatu proses yang lebih kompleks, dimana isi terkait harapan-harapan tertentu untuk dapat dipenuhi.
xi. Information Seeking
Donohew dan Tipton menjelaskan tentang pencarian, penginderaan, dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi social tentang kesesuaian sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of realitynya karena informasi itu bias saja membahayakannya.
xii. Konstruksi Sosial Media Massa
Asal mula konstruksi social dari filsafat konstuktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Konstruksi sosial atas realitas sosial dibangun secara simultan melalui tiga proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi, internalisasi. Proses simultan ini terjadi antara individu satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan simbolis.

Bahasa dan komunikasi

bahasa dapat didefinisikan sebagai penggunaan simbol-simbol bunyi, lambang, atau tulisan secara sistematis dan konvensional dalam kelompok masyarakat untuk komunikasi dan ungkapan diri. Komunikasi adalah proses transfer informasi yang bermakna dari satu orang dengan orang lainnya. Kalau dilihat secara sepintas, kedua definisi ini sangatlah sederhana. Namun di balik kesederhanaan ini muncul kompleksitas permasalahan, apalagi kalau pembahasan keduanya ini dikaitkan dengan berbagai aspek yang menyangkut permasalahan psikologis individu maupun kelompok masyarakat pengguna bahasa itu. Bahasa dan komunikasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada komunikasi tanpa bahasa.

Komunikasi merupakan intisari interaksi sosial. Tidak ada kegiatan sosial tanpa komunikasi. Selama hidup manusia menghabiskan waktunya untuk berkomunikasi dengan beragam bentuk, cara dan situasi. Bentuk komunikasi yang dipilih bisa lisan, tulisan atau gerak dan lambanglambang. Cara komunikasi lebih banyak melibatkan sikap dan perilaku berbahasa yang didominasi oleh personalitas (psikologis) penutur. Situasi komunikasi berkaitan dengan ruang dan waktu.Komunikasi menjadi memasyarakat dalam berbagai cara:

1.Komunikasi melibatkan hubungan timbal balik antara penutur dengan pendengar.
2.Komunikasi membutuhkan bahwa manusia memperoleh suatu pemahaman yang 3.berbagi tentang makna tertentu dari bunyi-bunyi, kata, lambang dan gerak.
4.Komunikasi berarti bahwa manusia saling mempengaruhi dan dipengaruhi manusia lainnya.
Komunikasi membutuhkan pengirim (sender), pesan (messages), penerima (receiver) dan saluran/medium (channel) komunikasi. Oleh karena itu, setiap terjadinya komunikasi tentu saja sangatlah kompleks: pengirim pesan juga sebagai penerima pesan dan sebaliknya, dan bisa juga ganda, kadang-kadang juga kontradiktif,pesan dikomunikasikan melalui suatu aturan saluran verbal dan nonverbal yang berbeda.

Kajian tentang komunikasi secara potensial merupakan suatu pekerjaan besar yang melibatkan banyak disiplin ilmu, seperti psikologi, psikologi sosial, sosiologi, linguistik, sosiolinguistik, filosofi, dan kritik sastra. Para ahli psikologi sosial membedakan antara kajian bahasa dan kajian komunikasi non-verbal. Kajian barunya difokuskan pada wacana.

dikarenakan penggabungan pengetahuan tentang kaidah-kaidah morfologis, sintaksis dan semantis membolehkan penurunan dan pemahaman ujaran bermakna yang hampir tanpa batas yang membuat bahasa sebagai media komunikasi yang sangat ampuh. Makna dapat dikomunikasikan lewat bahasa di sejumlah tingkatan. Jarak rentang dari ujaran yang paling sederhana (bunyi yang dibuat oleh seseorang untuk orang lain) sampai pada sebuah lokusi (kata-kata yang ditempatkan dalam suatu urutan

Menguasai bahasa juga membutuhkan pengetahuan mengenai aturan budaya sehingga dapat diketahui hal-hal yang menyangkut kelayakan apa dan cara menuturkan sebuah ujaran. Tidak mengetahui apa dan cara yang harus dituturkan untuk suatu ujaran tertentu akan melukai perasaan pengguna bahasa itu bahkan bisa lebih fatal. Jadi apa yang layak dikatakan sebaiknya disesuaikan dengan ruang, waktu dan sasaran Permasalahan tentang ini semua telah memperluas sasar kaji sosiolinguistik (Fishman, 1972; Forgas, 1958b) dan yang lebih baru lagi sebuah penekanan dalam psikologi sosial khususnya pada kajian wacana sebagai satuan dasar analisis (Poterdan Wetherell, 1987). Akhirnya, Searle(1979) mengidentifikasi lima jenis makna sehingga manusia dapat menggunakan bahasa secara
untuk berkomunikasi:

1. mengatakan bagaimana sesuatu itu;
2. membuat seseorang melakukan sesuatu;
3. mengungkapkan perasaan dan sikap;
4. membuat sebuah komitmen; dan
5. menyelesaikan sesuatu dengan segera.

KONSEP SIMBOL DAN BENDA SOSIAL

Secara etimologis, symbol berasal dari kata yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Adapula yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau cirri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Biasanya symbol terjadi berdasarkan metomini, yakni nama atau benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya si kacamata untuk seseorang yang berkacamata) dan metafora, yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia).

Dalam kamus umum bahasa Indonesiakarangan WS Poerwadarminta disebutkan symbol atau lambing adalah semacam tanda, lukisan,perkataan,lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih merupakan lambing kesucian, lambing padi lambing kemakmuran, kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga Negara Republik Indonesia. Konsep Peirece symbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara symbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakaiannya menafsirkan cirri hubungan antara symbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

Dengan kata lain symbol lebih substantive dari pada tanda, oleh karena itu salib yang dipajang didepan gereja, umpamanya hanya merupakan tanda bahwa rumah tersebut rumah ibadah orang Kristen. Namun salib yang terbuat dari kayu merupakan symbol yang dihormati oleh semua orang Kristen, lambing pengorbanan jiwa dan raga kristus demi umat manusia. Kemudian Herbert Blumer, mahaguru universitas California di Berkeley, seperti dikutip veeger (1993) telah berusaha memadukan konsep-konsep mead

hubungan bilingualisme dengan diglosia

Oleh : mohamad yusuf
Nim : 108015000089

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada asumsi yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa adalah objek, yang secara ideal diantara objek-objek itu terdapat batas-batas yang jelas. Ini berimplikasi bahwa setiap ucapan dapat dikategorikan pada satu bahasa tertentu. Item-item yang jelas ‘termasuk bahasa lain’ dapat diakomodasikan – menurut pendapat ini – dengan istilah ‘bentuk pinjaman’ atau ‘terselip’ melalui interfensi. Asumsi tersebut tidak dapat dipakai lagi, sebab tidak mampu membahas bentuk-bentuk pengalihan antara bahasa-bahasa, sebagai satu gejala umum dalam masyarakat bilingual. Dan implikasinya adalah bahwa tingkah semacam itu membentuk gangguan yang yang mengurangi efesiensi tindak komunikatif dimana pengalihan itu terjadi. Hal yang sebaliknya juga banyak terbukti; bahwa percampuran bahasa itu sebenarnya memberikan fasilitas untuk itu biarpun jauh dari pengertian pembentukan komunikasi bagi para bilingual dengan repertoire-repertoire yang lebih sulit.

Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang inklusif, dalam arti ia memiliki hubungan dengan masyarakat lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiw-peristiwa tersebut yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang didalam sosiolinguistik disebiut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konfergensi dan pergeseran bahasa.

Dari pengalaman hidup di Indonesia, kita tahu bahwa di banyak Negara, bahkan banyak daerah dan kota, terdapat orang-orang yang memakai bahasa yang berlainan. Bisa juga terdapat orang-orang yang memakai lebuh dari satu bahasa, umpmanya bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Suatu daerah atau masyarakat di mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual.
Berpijak dari kerangka dasar di atas, maka dalam makalah ini dibahas tentang bilingualisme dan diglosia serta hubungan antara keduanya. Adapun tentang term-term lain yang berkenaan dengan sosiolimguistik akan diterangkan pada makalah lainnya.

B. Rumusan masalah
Dengan latar belakan di atas maka makalah ini dapat dirumruskan sebagai berikut :
a.Apakah pengertian bilingualisme itu?
b.Apakah pengertian diglosia itu?
c.Dan bagaimanakah hubungan antara keduanya?

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Bilingualisme (Tsunaiyah al-Lughah)
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Dalam perspektif sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalalm pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama adalah bahasa ibu atau bahasa pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).

Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual –dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas—dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Bilingualisme dan Bilingualitas.

Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingulitas” akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-harinya, sebab hal ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat mempraktikkan “bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya, bilingualisme brimplikasi pada bilingualitas.

B.Diglosia (Lughah al-Mudzawijah)
Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari bahasa Yunani διγλωσσία, ‘dwibahasa’) oleh bahasawan Yunani Ioannis Psycharis. Ahli bahasa Arab William Marçais lalu juga menggunakannya pada tahun 1930 untuk menuliskan situasi bahasa di dunia Arab.

Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.

Akan tetapi, istilah diglosia tersebut menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh C.A. Ferguson, seorang sarjana dari Stanford University pada tahun 1958 dalam sebuah symposium tentang “Urbanisasi dan Bahasa-bahasa Standar” yang diselenggarakan oleh American Antropological Association di Washington DC.
Ferguson mengunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing punya peranan tertentu. Ferguson membahas diglosia ini dengan mengemukakan sembilan topic, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.

Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurutnya, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R). dalam bahasa Arab dialek T-nya adalah bahasa arab klasik, bahasa al-Qur’an yang disebut al-Fusha. Dialek R-nya adalah berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakn oleh bangsa Arab yang lazim disebut ad-Darij.

Pristise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap bahwa dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
Pemerolehan dialek T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan dialek atau ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman. Dan karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebt melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Stabilitas dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masnyarakat itu.

C.Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:

a.Bilingualisme dan diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hamper setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menrurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.

b.Bilingaulisme tanpa diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis tetdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.

c.Diglosia tanpa bilingualisme
Di dalam masyarakat yang beriri diglosia tapi tanpa bilingualismre terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih keil, merupakan kelompok ruling group yang hanya biara dalam bahasa T. sedangkan kelompom kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbiara bahasa R. siatasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.

d.Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan in hanya mugnkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu :
1.Billingualisme adalah akibat dari penggunaan lebih dari satu kode oleh seseorang individu atau masyarakat.
2.Diglosia adalah merupakan akibat dari valuasi perbedaan fungsional. Bilingulisme dan diglosia dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam suatu komunitas ujar.
3.Hubungan antara keduanya amatlah tergantung dari aspek dan bagaimana kita memandangnya.

Minggu, Juni 20, 2010

Dramatisasi Dalam Interaksionisme Simbolik


Dramatisasi Dalam Interaksionisme Simbolik

Tokoh yang menjelaskan dramatisasi dalam interaksionisne simbolik adalah Erving Goffman dalam karianya yang berjudul: “Presentasion of Self in Everiday Life” (1959). Goffman senderung melihat kehidupan social sebagai atu seri drama atau seri pertnjukan dimana para actor memainkan peran-peran tertentu. Pendekatan ini disebutnya dengan pendekatan dramaturgi. Dalam pendekatan ini Goffman mempunyai asumsi bahwa ketika individu-individu berinteraksi atau memainkan lakon-lakon dalam panggung sandiwara, maka mereka ingin sapuaya diri (self) mereka diterima. Tetapi dipihak lain, ketika mereka memainkan peran-peranannya, mereka tetap menyadari kemungkinan adanya penonton yang bisa mengganggu pertunjukan mereka. Oleh karena itu, para actor harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton atau lawan interaksinya, terutama menyangkut elemen-elemen hal yang bisa mengganngu. Para aktor itu berharap bahwa Self atau Diri yang mereka tampilkan dalam pertunjukan itu, cukup kuat atau mengesankan sehingga para penonton bisa memerikan definisi (deskripsi) tentang dari mereka (aktor-aktor) itu sesuai dengan keinginan actor-aktor itu sendiri. Hal itu berarti bahwa para actor penonton bisa mempuyai gambaran atau ideal positif tentang diri mereka, yakni, gambaran yang seuai dengan keinginan dan harapan aktor-aktor itu sendiri. Para actor itu juga berharap bahwa gambarn atau ideal diri yang diperoleh penonton tentang mereka, akan membuat para penonton itu sendiri bisa melakukan secara sukarela apabila saja yang diinginkan oleh actor supaya mereka pebuat, seperti bertepuk tangan, dan lain-lain.

Bagian depan panggung

Dalam mengikuti analogi teater ini, Goffman juga berbicara tentang bagian depan panggung (front stage) bagian depan panggung itu berfungsi untuk mendefinisikan situasi. Kenudia Goffman masih membedakan bagian depan dari front stage itu. Ada bagian yang disebut setting. Setting adalah bagian-bagian yang secara fisik (alat-alat) yang harus berada di sana apabila si aktor tampil. Setting itu bagi seorang actor yang menyanyi bisa berarti soundsystem, mike, piano, gitar, jazz, dan lain-lain. Tanpa setting itu seorang aktor tidak mungkin tampil. Selanjutnya Goffman mengatakan bahwa oleh karena orang pada umumnya berusaha menampilan suatu self atau diri an diidealkan dalam front stage, maka mau tidak mau mereka harus myembunyikan hal-hal tertentu dalam perunjukan atau performence itu. Dari uraian tersebut diatas, kita bisa melihat bahwa focus uraian Goffman bukan individu melainan team, yang terdiri dari individu-individu yang bkerja saama diatas panggung.

Bagian belakang panggung

Goffman juga mendiskusikan tentang back stage (bagian belakang panggung), diman bermacam-macam tindakan atau tingkah-laku no-nformal, boleh muncul. Bagian belakang panggung biasanya tertutup atau terpisah dari bagian depan panggung atau tidak bisa dilihat dari bagian depan panggung. Para peabawa acara atau actor mengharapkan dan selalu mengusahakan supaya para penonton tidak boleh muncul pada bagian belakang panggung (back stage). Performance akan menjadi cukup sulit apabila mereka tidak berhasil mencegah penonton memasuki back stage. Daam dunia social, back stage ini adalah tempat atau situasi dimana seorang individu tidak perlu bertingkahlaku sesuai dengan harapan-harapan orang dari statusnya itu. Misalnya, didalam keluarga seorang tentara tidak harus menunjukan muka suram. Atau waktu rekreasi, seorang imam tidak harus selalu sopan dan jalan denan kepala miring. Di sana ia bisa tertawa, dan membuat lucu. Jadi back stage adalah duia yang sedikit bersifat pribadi dimana orang-orang lain tidak perlu menyaksikan aktivitas pribadinya.

Kamis, Juni 17, 2010

ETNOGRAFI KOMUNIKASI DAN BAHASA

A. Etnografi Komunikasi
Sebelim mengetahui dan memahami etnografi komunikasi itu sendiri, maka harus pula memahami akan pengertian etnografi dan komunikasi terlebih dahulu.
• Etnografi diartikan sebagai pelukisan atau krangan secara lengkap tentang suatu suku bangsa. Pelukisan pengarangan etnografi itu melihat pada eksistensi suku bangsa itu sendiri, mulai dari kondisi geografis, lingkungan serta kebudayaan termasuk unsure – unsur kebudayaan suku bangsa .
• Komunikasi diartikan sebagai suatu proses melalui individu dengan hubungannya dalam menghasilkan interaksi baik secara kelompok , organisasi dan dalam masyarakat guna menerima , menyampaikan atau berkoordinasi dengan lingkungan social masyarakatnya.

Selain itu, kata komunikasi berasal dari bahasa Latin yakni ., “comunicatio “ yang berarti sama . jadi jika disimpulkan maka komunikasi memilki pengertian “sebuah proses yang membuat suasana berbeda dalam kebersamaan kepada dua orang atau lebih hingga tercapai suatu kesepakatan “.

Adapun Etnografi komunikasi itu sendiri adalah segala sesuatu yang terkait dalam aktifitas komunikasi yaitu bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi , materi yang disampaikan , pelaku, alat, tempat, dan hasil dari komunikasi tersebut.
Ada beberapa prinsip kmunikasi :
• Suatu proses
• Suatu sistem
• Transaksi interaksi
• Sengaja dan tidak disengaja
B. Bahasa
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memilki arti. Bahasa juga merupakan perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi baik lewat tulisan , lisan maupun gerakan dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicara .
Bahasa memiliki beberapa fungsi yakni :
• Fungsi secara umum : sebagai alat untuk berekspresi , berkomunikasi , alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial.
• Fungsi secara khusus : untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari – hari , mewujudkan seni, mempelajari naskah – naskah kuno dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Referensi :
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Arni Muhammad. 2007. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi aksara
Erliana hasan . 2005. Komunikasi Pemerintahan . Bandung : Aditama
http: // wikipedia.com/ bahasa- kebudayaan.html

Fenomenologi

Fenomenologi ( phenomenology)
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran. Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi. (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia. Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi.
Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya. Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi dalam dunia kehidupan.
Fenomenologi menyatakan bahwa kategori-kategori tentang filsafat telah membagi pengalaman pada masa lampau yang tidak cukup bagi pengalaman, karena kategori-kategori harus mematahkan pengalaman yang berkelanjutan menjadi hal-hal dan membiarkan pemahaman permasalahan yang dihidupkan antara pikiran dan realita itu lewat dan berlalu. Jadi perspektif-perspektif baru tentang pengalaman ditawarkan, sehingga membuat sifat pikiran serta realita saling jalin-menjalin sebagai “starting point”nya. Pengalaman, demikian pernyataan Brentano dalam “Psikologi dari Kehidupan Empiris” (1874) sebenarnya intensional, yaitu selalu terarah ke objek. dan selalu mengalalmi sesuatu. Pengalaman adalah sedemikian, sehingga akan selalu ada isi dan yang lain dari mana kita sadar, tidak menjadi persoalan serta bagaimana tidak siapnya kita menjelaskan apa yang ada di depannya, misalnya jalan ini, pohon ini, merah ini, kebingungan yang berdengung ini, dan lainnya . Dari struktur pengalaman intensional, mendasar, dimana satu hal (pengalaman) dapat terbuka menjadi dua hal (pengalaman dari sesuatu), fenomenologi ditentukan untuk menjelaskan kembali penampilan - penampilan. Hesserl adalah yang pertama menjalankan redeskripsi fenomenologis terbesar dalam fenomena. Dalam tulisan-tulisannya ia mempunyai prinsip bahwa “ide-ide yang menyinggung fenomenologi murni dan Filsafat Murni” (19130 dan “Meditasi Cartesian” (1931). Husserl me nerapkan reduksi fenomenologinya agar dapat memberikan ekspresi verbal pada kejadian-kejadian mental di saat kejadian-kejadian tersebut muncul pada kesadaran, bebas dari komitmen terhadap eksistensi orang-orang lain, tempat-tempat lain, objek-objek fisik, sebab-akibat serta sehari-hari yang tidak kritis.
Studi terhadap manusia terkait dengan permasalahan menyangkut tindakan yang penuh makna. Seseorang manusia itu dapat merasakan dunia ini sarat dengan makna dan tindakan yang penuh makna pula. Hal inilah yang kemudian merupakan pembeda antara studi tentang manusia dengan ilmu-ilmu fisik. Studi tentang manusia terfokus pada ide-ide, aspirasi, tindakan-tindakan yang memiliki tujuan, kreasi yang artistik, perangkat manusia, peraturan yang dibentuk untuk mereka sendiri, dan lembaga-lembaga yang mereka ciptakan. Pada ilmu-ilmu fisik, perhatian lebih pada problem eksperimental dan spekulasi terhadap materi secara kebendaan dan perhitungannya. Dalam ilmu fisik, sulit dibedakan antara mana yang teori dan mana yang fakta karena teori yang terbentuk semata-mata berasal dari fakta yang secara empiris melekat pada aspek kebendaan yang menjadi objek studinya. Misalnya dalam upaya pengklasifikasian, ilmu fisik lebih kepada mencari unsur-unsur kesamaan pada pola-pola teoritis yang telah ada secara umum tanpa harus terlebih dahulu mengutamakan common sense terhadap objek material tersebut.

Ilmu Semiotika

Ilmu Semiotika
Semiotik Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan.
Berbeda dengan para ahli yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant (lihat gambar 3). Atas dasar hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung.
Semiotika moderen mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure. Pierce mengusulkan kata semiotika untuk bidang penelaahan ini, sedangkan Saussure memakai kata semiologi. Sebenarnya kata semiotika tersebut telah digunakan oleh para ahli filsafat Jerman bernama Lambert pada abad XVIII.
Menurut Pierce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia menyebutnya sebagai representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, apa yang ditunjuknya, disebut oleh Pierce dalam bahasa Inggris object. Dalam bahasa Indonesia disebut “acuan”. Suatu tanda mengacu pada suatu acuan dan representasi seperti itu adalah fungsinya yang utama. Agar tanda dapat berfungsi harus menggunakan sesuatu yang disebut ground. Sering ground suatu tanda berupa kode, tetapi tidak selalu begitu. Kode adalah suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual. Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual. Di samping itu tanda diinterprestasikan. Hal ini menunjukkan setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Pengertian interpretant di sini jangan dikacaukan dengan pengertian interpretateur, yang menunjukkan penerima tanda. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretant-nya. (lihat Sudjiman, 1991)
Aart van Zoest (1978) dengan mengutip pendapat Pierce yang membagi keberadaan menjadi tiga kategori : Firstness, Secondness dan Thirdness, membagi tanda berdasarkan ground dari tanda-tanda tersebut sebagai berikut : (1) Qualisign, (2) Sinsign, dan (3) Legisigns. Awalan kata Quali- berasal dari kata “quality”, Sin- dari “singular”, dan Legi- dari “lex” (wet/hukum).
Qualisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya. Misalnya sifat warna merah adalah qualisign, karena dapat dipakai tanda untuk menunjuk-kan cinta, bahaya, atau larangan.
Sinsign (singular sign) adalah tanda-tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk atau rupanya di dalam kenyataan. Semua ucapan yang bersifat individual bisa merupakan sinsign. Misalnya suatu jeritan, dapat berarti heran, senang, atau kesakitan. Seseorang dapat dikenali dari caranya berjalan, caranya tertawa, nada suara dan caranya berdehem. Kesemuanya itu adalah sinsign. Suatu metafora walaupun hanya sekali dipakai dapat menjadi sinsign. Setiap sinsign mengandung sifat sehingga juga mengandung qualisign. Sinsign dapat berupa tanda tanpa berdasarkan kode.
Legisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan suatu peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, suatu kode. Semua tanda-tanda bahasa adalah legisign, sebab bahasa adalah kode, setiap legisign mengandung di dalamnya suatu sinsign, suatu second yang menghubungkan dengan third, yakni suatu peraturan yang berlaku umum, maka legisign sendiri adalah suatu thirdness.
Berdasarkan hubungan antara tanda dan acuannya (denotasi), Pierce membedakannya menjadi 3 (tiga) jenis tanda, yaitu : (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol. Hal ini dinyatakan sebagai berikut : Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, tanda itu disebut ikon. (2) Hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks. (3) Akhirnya hubungan ini dapat pula berbentuk secara konvensional; tanda itu adalah simbol.
Tanda ikon merupakan tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya, atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, foto dan lain-lain. Benda-benda tersebut mendapatkan sifat tanda dengan adanya relasi persamaan di antara tanda dan denotasinya, maka ikon seperti qualisign merupakan suatu firstness.
Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotasi, sehingga dalam terminologi Pierce merupakan suatu Secondness. Indeks dengan demikian adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang diwakilinya. Misalnya tanda asap dengan api, tiang penunjuk jalan, tanda penunjuk angin dan sebagainya.

TIGA POLA KOMUNIKASI DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

TIGA POLA KOMUNIKASI DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

Guru sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan,disamping memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan konseptual,juga harus mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang bersifat teknis.Hal-hal yang bersifat teknis Dalam proses pendidikan sering kita jumpai kegagalan-kegagalan,hal ini biasanya dikarenakan lemahnya sistem komunikasi. Oleh karena itu, pendidik perlu mengembangkan pola komunikasi efektif dalam proses belajar mengajar.Komunikasi pendidikan yang penulis maksudkan disini adalah hubungan atau interaksi antara pendidik dengan peserta didik pada saat proses belajar mengajar berlangsung, atau dengan istilah lain yaitu hubungan aktif antara pendidik dengan peserta didik.
Ada tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis antara guru dengan siswa yaitu:


1. Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah

Dalam komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi.Guru aktif dan siswa pasif.Ceramah pada dasarnya adalah komunikasi satu arah,atau komunikasi sebagai aksi.Komunikasi jenis ini kurang banyak menghidupkan kegiatan siswa belajar.



2. Komunukasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah.

Pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperansama yaitu pemberi aksi dan penerima aksi. Disini, sudah terlihat hubungan dua arah, tetapi terbats antara guru dan pelajar secara indivudual.Antara pelajar dan pelajar tidak ada hubungan.Pelajar tidak dapat berdiskusi dangan teman atau bertanya sesama temannya. Keduanya dapat saling memberi dan menerima. Komunikasi ini lebih baik dari pada yang pertama, sebab kegiatan guru dan kegiatan siswa relatif sama.

3. Komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai transaksi
Komunikasi ini tidak hanya melibatkan interaksi yang dinamis antara gurudenan siswa tetapi juga melibatkan interaksi yang dinamis antara siswa yang satu dengan yang lainnya.Proses belajar mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada proses pengajaran yang mengembangkan kegiatan siswa yang optimal, sehingga menumbuhkan siswa belajar aktif. Diskusi dan simulasi merupakan strategi yang dapat mengembangkan komunikasi ini (Nana Sudjana,1989).

BAHASA DAN TEORI REALITAS

BAHASA DAN TEORI REALITAS

Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran.Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :“Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting…(Whorf dalam Chandler, 2000)Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999). Hipotesis Sapir dan Worf didukung oleh beberapa temuan penelitian terutama dalam bidang antropologi. Seorang antropologis bernama Lucy menulis mengenai perbedaan bahasa yang berkaitan dengan aktifitas perseptual. Sebagai contoh, dua individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda, akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Language relativistics melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar dari aktifitas mental, seperti kategorisasi, ingatan dan pengambilan keputusan. Jika asumsi ini benar maka studi tentang bahasa mengarah pada perbedaan pikiran yang diakibatkan sistem tersebut. Di samping bahasa merefleksikan perkembangan kognitif, bahasa mempengaruhi akuisisi bahasa dan juga memiliki memberikan potensi pada transformasi kognitif.
Lucy mencoba menengahi pertentangan yang ada dengan memberikan beberapa petunjuk apabila seorang peneliti hendak mengkaji relativitas bahasa. Peneliti harus mengidentifikasi performansi kognitif individu yang beriringan dengan konteks verbal secara eksplisit (explicitly verbal contexts) dan menekankan pada struktur kognitif individu yang dideteksi yang ditunjukkan dalam perilaku keseharian. Melalui pandangan ini secara tidak langsung, Lucy telah melihat bahwa kognisi adalah sekumpulan konsep dan prosedur yang hadir dalam aktifitas individu yang berkaitan dengan perilaku verbal seperti berkata, mendengar dan berpikir secara verbal.
Penggunaan konteks dalam pengkajian bahasa ini mendapat dukungan dari Gumperz dan Levinson, yang melalui tulisannya dengan judul rethinking linguistic relativity mencatat pentingnya theories of use in context yang memuat teori semantik formal yang berkaitan dengan situasi semantik, discourse representation theory dan teori pragmatis yang memuat relevance theory dan gricean theories. Hipotesis Whorf juga didukung oleh Olson (1983) yang melihat bahwa kategori perseptual dan struktur kognitif individu merefleksikan dunia pengalaman. Sebuah peristiwa selalu dipersepsi dan dikategorisasi secara relatif tergantung pada konteksnya.
Berkaitan dengan kata-kata emosi, Levi (1973, dalam Wierzbicka, 1995) melalui studinya di Tahiti menjelaskan bahwa tidak ada kesamaan antara perasaan buruk (bad feelings) dalam pemahaman orang Tahiti dengan kata sedih (sad) dalam kosa kata Bahasa Inggris. Orang Tahiti lebih menonjolkan perasaan mo’emo’e (sebuah perasaan kesepian dan kesendirian) daripada rasa sedih yang oleh kosa kata Inggris dinamakan dengan sad. Levi menambahkan bahwa hal ini tidak menandakan bahwa orang Inggris tidak dapat merasakan mo’emo’e dan juga sebaliknya, orang Tahiti tidak bisa merasakan sad, tetapi menandakan bahwa kedua perasaan itu mempunyai status yang berbeda sehingga tidak dapat diparalelkan. Jika perasaan buruk (bad feeling) bagi orang Inggris adalah sad, maka bagi orang Tahiti adalah mo’emo’e.
Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Melalui paparan di muka dapat diuraikan beberapa derivasi dari pengaruh bahasa terhadap pikiran manusia. Derivasi tersebut tercermin dari beberapa pernyataan beberapa ahli antara lain :
1.Languagecreates awareness
2. Language creates self-consciousness
3. Language creates structures of thought and symbolic representation
4. Language serves as one possible cue for memory
5. Language provides “Thinking for speaking”
Konsep Sapir dan Whorf mengudang beberapa keberatan di kalangan ahli bahasa dan peneliti psikolinguistik. Dasar yang dipakai sebagai bentuk keberatan tersebut adalah bahwa pikiran yang sama dapat diekspresikan dalam beberapa cara. Manusia dapat mengatakan apa saja yang dimauinya dalam sebuah bahasa sehingga antara satu bahasa dengan bahasa lainnya memiliki karakter yang paralel.
Salah satu fakta yang dipaparkan untuk menunjukkan keberatan ini adalah dalam bidang perkembangan. Beberapa kasus di kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal sudah mampu menalar lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka. Misalnya usia 3-4 bulan bayi dapat memahami jarak dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jarak. Usia 5 bulan bayi sudah mampu menalar aritmatika sederhana. Setelah sebelumnya bayi diperlihatkan dua buah objek di tangan, mereka mencoba mencari dua objek tersebut ketika dua objek tersebut disembunyikan.
Bukti kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak mampu memahami struktur simbol bahasa. Anak-anak ini dapat menemukan isyarat dan gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka. Bukti ketiga adalah kasus penggunaan mental image yang diperagakan oleh beberapa individu. Seniman dalam bidang visual memiliki kemampuan menalar yang dapat disejajarkan dengan penulis ataupun ilmuwan. Francis Cricks dengan berpikir secara visual mampu menemukan struktur double helix DNA, Albert Einstein yang terkenal dengan penalar visual (visual thinker) mampu menelurkan rumus-rumus fisika yang spektakuler.Kontroversi tentang pendapat Whorf juga diarahkan pada contoh yang dikemukakan, misalnya salju. Orang Eskimo hidup di tengah-tengah salju sehingga mereka memiliki banyak kata tentang salju. Unta sangat penting bagi orang Arab sehingga mereka memiliki banyak cadangan kosa kata dalam menggambarkan unta. Bahasa dikembangkan sesuai dengan tantangan kultural dan tidak benar bahwa manusia tidak dapat membedakan beberapa objek persepsi karena tidak ada kata yang mampu menggambarkannya. Walaupun dalam bahasa ada hanya menggunakan kata ‘dia’ akan tetapi orang Indonesia juga memahami arti ‘he’ dan ’she’ dalam Bahasa Inggris.Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran. Sementara sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa bahasa adalah objek sosial yang berdiri di atas kesepakatan untuk memudahkan adanya komunikasi, Chomsky memiliki konsep yang berbeda. Menurutnya bahasa “a natural object that is part of human biological endowment”. Bahasa adalah objek natural yang merupakan bagian dari kelebihan yang dimiliki manusia. Bahasa bagi Chomsky adalah cerminan dari pikiran dan produk dari kecerdasan manusia. Dengan memahami properti bahasa alami seperti struktur, organisasi, dan tata cara penggunaannya peneliti akan dapat memahami karakteristik manusia secara alami (human nature). Pandangan Chomsky ini selain bertentangan dengan pandangan Skiner mengenai proses akuisisi bahasa pada anak, juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dengan adanya hal-hal yang bersifat bawaan maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak memiliki keterkaitan dengan pikiran.
Konsep Paul Kay mengenai bahasa secara tidak langsung juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dikatakan olehnya bahwa perbedaan mengekspresikan fenomena dan objek dalam bahasa yang berbeda tidak berarti menunjukkan perbedaan dalam konsep. Untuk memahami relatifitas bahasa, individu menyadari layaknya menterjemahkan bahasa bahwa ada beberapa skema alternatif yang ada di dalam bahasa dan individu pemakai bahasa tersebut. (Jaszczolt, 2001). Beberapa ahli melihat bahwa language relativistics kurang memiliki dukungan secara ilmiah, karena belum ada penelitian yang membuktikan keterkaitan tersebut (Schlenker, 2004). Menurut Schlenker (2004), manusia tidak secara eksak menggunakan kata-kata dalam berpikir (think in world), karena jika menggunakan manusia berpikir dengan menggunakan kata-kata maka pasien yang memiliki keterbatasan bahasa (language deficits) otomatis akan mengalami hambatan dalam berpikir. Bahasa verbal dan pikiran memiliki perbedaan secara prinsip. Namun demikian ini tidak berarti bahwa pikiran bukan sistem yang memanipulasi simbol dalam bahasa. Sebagai contoh, konsep computational model of the mind memperlihatkan bahwa pikiran dapat dianalogikan dengan komputer yang mampu memanipulasi simbol abstrak.

Rabu, Juni 16, 2010

Komunikasi Lintas Budaya

Komunikasi Lintas Budaya

Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Namun, Dalam setiap Negara pastinya memerlukan suatu komunikasi yang baik, walaupun didalam suatu Negara atau budaya yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda tetapi dalam suatu komunikasi satu sama lainnya harus dapat terhubung dan kita juga dapat menguasai bahasa kebudayaan di luar negeri seperti Amerika Serikat yang sangat beragam penduduknya. Bukan merupakan hal yang aneh apabila didalam suatu masyarakat ada orang yang berbeda budaya berbicara satu sama lain. Banyak di kota-kota atau pusat perbelanjaan dapat menjadi suatu arena kebudayaan yang menarik karena beragamnya suatu komunikasi dalam kebudayaan.
Ko-budaya merupakan kelompok-kelompok individu yang merupakan bagian dari kelompok kebudayaan yang lebih besar tetapi mempunyai perbedaan antara ras, etnis, orientasi seksual, agama dan sebagainya dan menciptakan kesempatan bagi diri mereka sendiri. Dan istilah ini seakan menyatakan sebuah kebudayaan mendominasi kebudayaan lain, contohnya seperti dalam kebudayaan jawa atau betawi dalam suatu adat perkawinan mereka mencampurkan adat dari kebudayaan yang berbeda supaya dalam kebudayaan ini dapat di lestarikan dan tidak hilang dari kebudayaan ini. Komunikasi lintas budaya sebenarnya merupakan konteks akademik yang termasuk masih muda, banyak sekali penelitian menarik yang dilaksanakan. Perkembangan bidang studi ini dapat dikaitkan dengan perkembangan pasar global yang ada saat ini, dengan adanya banyak perusahaan di Amerika Serikat memperluas usahanya ke luar negeri. Selain itu, ketersediaan teknologi, pergeseran populasi dan usaha-usaha untuk memahami budaya lain turut serta dalam memberikan sumbangan, dan saat ini kita sudah mulai dapat menyaksikan adanya kemajuan dalam menyadari dan menghargai keberagaman suatu budaya.
Dalam suatu konteks kebudayaan para peneliti dapat mengeksploitasi interaksi dan kejadian yang terjadi di antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda dan, budaya merupakan suatu dasar dari perilaku manusia. Dengan kata lain, budaya sangat menentukan bagaimana kita bertindak dalam segala hal. Dan kita juga harus menyadari bahwa banyak dari yang kita ketahui dalam hasil pemikiran Barat banyak dari kita yang menginterpretasikan kejadian dan perilaku melalui kacamata Eropa (atau Amerika) yaitu dengan meniru gaya ke-Barat-baratan dari segi pakaian, makanan, mungkin juga bahasa yang dijadikan bahasa gaul sehari-hari.
Mengapa kita mempelajari Komunikasi Lintas Budaya yaitu untuk menghindari gegar budaya, untuk menghindari kesalahpahaman, untuk mengindari pertentangan. Dengan kita mempelajari KLB ini supaya kita dapat melestarikan, menghindari dan tidak menghilangkan keragaman dari kebudayaan kita masing-masing.
Kebudayaan juga mempunyai ciri-ciri yang harus dapat kita ketahui yaitu bahwa ciri-ciri budaya:
• budaya bukan bawaan tetapi dapat dipelajari
• budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, kelompok ke kelompok dan dari generasi ke generasi.
• budaya berdasarkan simbol
• budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terus berubah sepanjang waktu
• budaya bersifat selektif, mereprentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang jumlahnya terbatas
• berbagai unsur budaya saling berkaitan
• etnosentrisme. (http://jurusankomunikasi.blogspot.com/2009/06/komunikasi-lintas-budaya.html).
Sebagai masyarakat yang baik seharusnya kita dapat menginterpretasikan suatu kebudayaan kita supaya dapat lebih diterima dalam kebuyaan lainnya dan dapat menciptakan suatu kebudayaan baru tanpa menghilangkan kebudayaan yang lama.

Teori Tentang "Makna"

Selama lebih dari 2000 tahun, kata Fisher (1986), konsep makna telah memukau para filsuf dan sarjana – sarjana sosial. “makna”, ujar Spradley (1997). “menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.
Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banayk komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat.
Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu menoleh kembali kepada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Sausure, bapak linguistic modern asal perancis. Didalam bukunya yang terkenal, course in general linguistic (1916), ia menyebut istilah tanda linguistic. Menurutnya, setiap tanda linguistic terdiri atas dua unsur yakni(1)yang diartikan dan(2) yang mengartikan. Yang diartikan sebenarnya tidak lain dari konsep atau makna dari sesuatu tanda – bunyi. Sedangkan yang mengartikan itu adalah tidak lain dari bunyi – bunyi itu, yang terbentuk dari fonem – fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Efektivitas komunikasi bahasa sebagian besar ditentukan oleh pola semantic bahasa, yaitu makna referensial dan makna gramatikal. Makna referensial meletakkan hubungan antara kata atau bentuk bahasa dengan dunia luar bahasa (kognitif, sosial, atau fisik)
Teori Acuan
Menurut Alston, teori acuan atau teori referensial ini merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau menidentifikasi makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Istilah referen itu sendiri menurut Palmer(1976:30) “reference deals with the relationship between the linguistic element, word, sentences, etc, and the nonlinguistic word of experience” (hubungan antara unsur – unsur linguistic berupa kata – kata, kalimat – kalimat dan dunia pengalaman yang non linguistik.
Referen atau acuan boleh saja benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambing. Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambing tersebut yakni tanah yang berlubang lebar dan panjang tempat mengalir air dari hulu ke danau atau laut. Kata sungai langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin timbul asosiasi yang lain. Bagi mereka yang pernah melihat sungai, atau pernah mandi di sungai, sudah barang tentu mudah memahami apa yang dimaksud dengan sungai.
Makna Sebagai Arti dan Referensi
Pada bab – bab terdahulu telah dikatakan bahwa dialektika peristiwa dan makna merupakan suatu dialektika inti dari makna wacana. Untuk memaknai apa yng dilakukan pembicara, juga apa yang dinyatakan oleh kalimat. Makna ujaran pada makna isi preposisi merupakan sisi obyektif dari makna, sedangkan makna pengujar pada makna referensi kalimat dan kehendak yang diketahui pendengan merupakan sisi subyektif dari makna.
Dialektika obyektif-subyektif tidaklah memberi penyelesaian makna, oleh karena itu tidak menyelesaikan struktur wacana. Sisi obyektif wacana itu sendiri dapat diberikan dengan dua cara. Kita dapat memaknai ‘apa’ dan ‘tentang apa’ wacana itu merupakan ‘referensi’. Ini merupakan perbedaan yang dapat langsung dihubungkan dengan perbedaan semiotik dan semantic.
‘mengacu’ merupakan apa yang dilakukan kalimat pada situasi tertentu dan menurut kegunaan tertentu, juga apa yang dilakukan pembicara ketika ia menerapkan kata – katanya pada kenyataan. Seseorang mengacu kepada sesuatu, pada saat tertentu merupakan peristiwa ujar. Tetapi peristiwa ini, menerima strukturnya dari makna sebagai arti. Dengan cara ini dialektika peristiwa dan makna menerima perkembangan baru dari dialektika arti dan referensi. Dialketika arti dan referensi inilah yang memberikan hubungan antara bahasa dan kondisi ontologis yang ada di dunia.
Kita mengandaikan bahwa sesuatu berada dalam susunan, sehingga sesuatu itu bisa diidentifikasi, tetapi kita memerlukan sebuah referensi. Pengendalian ini diperlukan, sehingga kita harus menambahkan ketentuan – ketentuan yang spesifik jika kita ingin mengacu ke sesuatu yang sifatnya fiktif.
Kebermaknaan universal dari problem referensi sangatlah luas, wacana mengacu kembali pada pembicaranya, pada saat yang sama hal itu mengacu kepada dunia. Wacana dalam tindakan dan dalam kegunaan mengacu kembali dan datang lagi menuju pembicara dan dunia. Ini merupakan criteria pokok dari bahasa sebagai wacana.
Beberapa Implikasi Hermeneutic
Implikasi ini berhubungan dengan penggunaan dan penyalahgunaan konsep peristiwa ujar pada tradisi romantic tentang hermeneutika. Hermeneutic sebagai pokok persoalan Scleimacher dan Dilthey, cenderung untuk mengidentifikasi pemahaman sebgai pengenalan kehendak pengarang dari sudut pandang pembaca yang awam pada situasi wacana yang asli. Prioritas yang diberikan pada kehendak pengarang dan pembaca, cenderung membuat dialog dari setiap situasi pemahaman. Hal inilah yang menjadikan kerangka intersubyektifitas hermeneutic. Pemahaman teks hanyalah merupakan kasus khusus dari situasi dialogis, dimana seseorang memberi respon yang lainnya.
Hermeneutika dari sudut pandang filsafat wacana, membebaskan hermeneutika dari prasangka eksistensial dan kepsikologisannya. Asumsi hermeneutika psikologis berakar dari kesalahpahaman ganda dari dialketik peristiwa dan makna pada wacana, dan dialektika arti dan referensi dalam makna itu sendiri. dua kesalahpahaman ini akhirnya membawa pada penentuan tugas yang salah terhadap interpretasi, sebuah tugas yang diungkapkan dengan baik pada slogan “untuk memahami pengarang lebih penting daripada memahami diri sendiri” . oleh karena itu apa yang menjadi tonggak pembicaraan ini, merupakan definisi yang tepat dari tugas hermeneutika.
Menurut Ricoeur, interpretasi tidak pernah berakhir. Interpretasi selalu bersifat opend-ended. Jika kita mendapatkan titik akhit sebuah interpretasi,ini berarti ‘pemerkosaan’ terhadap interpretasi.

Makna Pengujar dan Makna Ujaran

Makna Pengujar dan Makna Ujaran
Konsep makna memberikan dua interprestasi. Hal ini mencerminkan adanya dialektika antara pristiwa dan makna. Dua interprestasi tersebut adalah:
1. apa yang dimaksud oleh pembicara, yaitu apa yang dikehendaki dari perkataannya.
2. apa yang dimaksudkan oleh kalimat, yaitu apa yang dihasilkan oleh konjungsi antara fungsi identifikasi dan fungsi fredikatif. Dengan kata lain, makna atau “meaning” merupakan noetic dan neomatic.
Bahasa itu tidak berbicara, tetapi manusia atau oranglah yang berbicara. Jika makna pengujar. (Menurut istilah Paul Grice) yaitu tidak mengurangi kehendak psikologis. Makna mental hanya dapat dapat ditemukan oleh wacana itu sendiri. Makna pengujar memiliki pemerkahnya pada makna ujaran, karena struktur dalam kalimat mengacu kembali pada si pembicaranya melalui prosedur gramatikal yang disebut “shiftes” (pengganti). Pronominal persona misalnya, tidaklah mempunyai makna objektif. Contohnya “I” sebagai ungkapan universal bukan sebagai konsep, karena tidak bisa digantikan oleh seseorang yang sedang berbicara, satu-satunya Fungsi adalah mengacu kepada keseluruhan kalimat terhadap subjek dari pristiwa ujaran “I” mempunyai makna yang berubah setiap saat dan dan setiap digunakan. Dan suatu saat dia mengacu kepada subyek tunggal. “I” adalah seseorang yang berada pada percakapan menerapkan dirinya sendiri pada kata “I” yang muncul pada kalimat sebagai subyek logis. Ada pengganti lain, pembawa referensi gramatikal dari wacana untuk pembicaranya. Ini termasuka kala verba keperluasan yang dipusatkan sekitar kala ini, oleh karena itu mengacu pada kata sekarang, dari peristiwa ujaran dan pembicara. Hal yang sama juga berlaku bagi adverbial waktu, adverbial tempat, dan demonstrative yang mungkin dipertimbangkan sebagai fakta-fakta egosentris. Jadi wacana mempunyai banyak cara pengganti untuk mengacu kembali kepembicaranya.
Perhatian terhadap alat gramatikal dari referensi wacana ini memberikan dua kelebihan yaitu:
1. memberikan criteria baru tentang perbedaan wacana dank ode linguistic.
2. memberikan definisi non fsikologis makna pengujar.
Makana ujaran merujuk pada makna pengujar, karena referensi wacana itu sendiri sebagai sebuah pristiwa. Pendekatan semantic didukung oleh dua konstribusi lain, yaitu dialektika pristiwa dan proposisi.
Sewaktu berkomunikasi, kita itu mengkomunikasikan amanat, dan proses berkomunikasi itu terkondisi oleh berbagai situasi, umpamanya « Ribut » hingga kita harus berteriak, dan dalam situasi formal kita juga harus memilih kata-kata yang formal pula, suasana mengkondusi penyampaian, dan tambah pula bahwa amanat yang sama dapat disampaikan dengan berbagai cara. Singkatnya bentuk amanat itu sendiri adalah satu faktor dalam situasi ujaran. Pertuturan mempunyai 7 macam fokus yang menjadi orientasi kegiatan penuturan yaitu : 1). penutur. 2). Pendengar (penanggap tutur). 3). Kontak antara kedua pihak. 4). Kode linguistik yang dipakai. 5). Latar(setting). 6). Topic amanat dan 7). Bentuk amanat.
Fungsi-Fungsi Ujaran
1. Bila beroreantasi pada sipenutur, maka fungsi bahasa adalah personal atau pribadi. Ini mencerminkan sikap dia terhadap yang dituturkannya. Bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi memperlihatkan emosi dia sewaktu menyampaikan yang dituturkan oleh si pengujar.
2. bila berorientasi pada penanggap tutur, maka bahasa berpungsi directictif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar.
3. bila berorientasi pada pihak pada kontak antar pihak yang sedang berkomunikasi, maka fungsi bahasa sebagai menjalin hubungan, memeliharanya, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial.
4. bila orientasinya pada topik ujaran, maka fungsi bahasa disebut referiential. Ini mengacu bahasa sebagai alat untuk membicarakan objek atau pristiwa dalam lingkungan sekeliling atau dalam kebudayaan pada umumnya.
5. dilihat dari amanat atau message, bahasapun bias untuk mengungkapkan pikiran atau gagasan baik sesungguhnya atau tidak, perasaan dan khayalan.

Teori Komunikasi



Bahasa dan Kebudayaan
Pengertian Komunikasi
Komunikasi secara terminologis berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian diatas jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu terhadap orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia (human comunication), yang sering kali pula disebut komunikasi sosial (sosial comunication).

Teori Realitas Sosial Dan Kebudayaan
Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan manusia adalah aktor yang kreatif realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang semua itu tercakup dalm fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan pranata sosial.
Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial dimaksud sebagai mana yang disebut oleh George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri diluar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu ’ada’ dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Berger dan Lukmann memulai penjelasan tentang realitas dengan memisahkan ”kenyataan” dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat dalam realitas-reaitas, yang diakui memiliki keberadaan yang tidak tergantung pada kehendakk sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian-kepastian bahwa realitas itu benar-benar nyata. Realitas sosial yang dimaksud oleh berger dan Lukmann terdiri dari realitas obyektif, realitas subyektif, realitas simbolis. Mereka juga menjelaskan dialektika antara diri dan dunia sosiokultural. Dialektika itu berlangsung dalam tiga proses, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri), obyektivasi dan internalisasi. Tiga momen ini memunculkan suatu proses konstuksi sosial yang dilihat dari segi mulanya, yaitu buatan manusia. Hal terpenting dalam obyektivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan tanda-tanda olehmanusia. Mereka menyatakan bahwa suatu tanda dapat dibedakan dari obyektivasi lainya karena tujuannya digunakan sebagai isyarat atauindeks bagi pemakna suyektiv. Menurut Berger dan Lukmann bahasa memegang peran penting dalam obyektivasi terhadap tanda-tanda. Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikansi, yang mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobyektivasi.

Kesimpulan
Komunikasi merupakan proses interaksi anatara dua orang atau lebih, dimana dari komunikasi tersebut menghasilkan suatu kesepakatan antara keduabelah pihak. Proses komunikasi merupakan salah satu gejala dalm masyarakat, diamana gejala tersebut bersifat nyata dalam kehidupan bermasyarakat (realita sosial). Dalam prosesnya komunikasi terbagi menjadi dua yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, dimana komunikasi verbal tidak akan terjaditanpa adanya bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan persyaratan yang sangat penting dalam berkomunikasi.
Komunikasi juga dapat berpengaruh pada kebudayaan dalam masyarakat, dimana komunikasi merupakan proses penyebaran kebudayaan yang terjadi melalui interaksi antara dua orang yang berbeda budaya satu sama lain.

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA




KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA


A.Pengertian Komunikasi
Meskipun kita sering berkomunikasi, namun mungkin sekali kita tidak memahami betul apa yang sedang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat berkomunikasi yang baik dan benar. Salah satu cara untuk memahami komunikasi adalah dengan memahami pengertian komunikasi itu sendiri.

Kata atau istilah komunikasi merupakan terjemahan bahasa inggris communication yang dikembangkan di amerika serikat dan komunikasipun berasal dari unsur pesurat kabaran, yakni jouenalism. Adapun definisi komunikasi dapat dilihat dari sudut, yaitu: dari sudut bahasa (etimologi) dan dari sudut istilah (terminologi). Komunikasi menurut bahasa atau etimologi dalam ensiklopedia umum diartikan dengan perhubungan, sedangkan yang terdapat dalam buku komunikasi berasal dari perkataan latin, yaitu:

1.Comunicare, yang berarti berpartisipasi ataupun meberitahukan.
2.Communis, yang berarti milik bersama ataupun berlaku dimana-mana.
3.Communis opinion, yang berarti pendapat umum ataupun pendapat mayoritas.
4.Communico, yang berarti membuat sama.
5.Demikian juga communication berasal dari kata latin communication yang juga bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya sama makna mereka.

Komunikasi adalah transmisi informasi dari seorang individu atau kelompok kepad individu atau kelompok lain, komunikasi merupakan dasar semua bentuk interaksi social. Dalam konteks tatap muka, komunikasi tidak saja diperlihatkan melalui penggunaan bahasa semata-mata, tetapi menggunakan juga tanda-tanda tubuh yang membutuhkan interpretasi tentang apa yang dikatakan dan dibuat oleh orang lain. Dengan berkembangnya media tulisan dan elektronik, seperti radio, televise, atau computer, komunikasi mengubah relasi tatp muka dengan cepat.

B.Pengertian Budaya

Selanjutnya adalah pengertian dari kebudayaan, yaitu yang berasal dari kata sansekerta Buddhayah sebagai bentuk dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Bahasa inggrisnya adalah Culture yang berasal dari kata latin Colere, yang berarti mengolah, mengerjakan atau sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam.
Dalam ensiklopedia umum, budaya diartikan sebagai keseluruahan warisan social yang dapat dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya terdiri daripada kebendaan, kemahiran tehnik, pikiran dan gagasan, kebiasaan dan nilai-nilai tertentu, organisasi social tertentu, dan sebagainya.

C.Pengertian Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi lintas budaya adalah:

1.Suatu studi tentang perbandingan gagasan atau konsep dalam berbagai kebudayaan,
2.Perbandingan antara satu aspek atau minat tertentu dalam satu kebudayaan.
3.Atau perbandingan antara satu aspek atau minat tertentu dengan satu atau lebih kebudayaan lain.

Disini terlihat bahwa arti komunikasi anatar budaya itu lebih meliputi interaksi antarorang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda, dimana definisi komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang mempunyai perbedaan budaya, baik dari bahasa, symbol-simbol atau latar belakang di mana ia berada, komunikasi antar budaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan.

Sedangkan komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan interaksi antar orang dari latar belakang budaya yang sama, atau perbandingan suatu aspek tertentu dari suatu kebudayaan dengan orang-orang dari suatu latar belakang budaya lain.

D.Alasan mempelajari komunikasi lintas budaya menurut Litvin (1977) :

a.Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
b.Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
c.Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
d.Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
e.Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
f.Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
g.Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
h.Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
i.Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
j.Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
k.Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
E.Tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, menurut Litvin (1977)

a)Menyadari budaya sendiri
b)Lebih peka secara budaya
c)Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
d)Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
e)Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
f)Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
g)Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya
h)Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
i)Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.
j)Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

F.Strategi Komunikasi Lintas Budaya

Strategi komunikasi lintas budaya merupakan suatu strategi yang yang sangat penting dalam membangun sebuah organisasi, munculnya strategi komunikasi lintas budaya ini di dorong oleh faktor globalisasi yang semakin berkembang saat ini dan di dukung oleh keanekaragaman budaya yangterdapat dalam satu negara itu sendiri. Oleh sebab itu muncul-lah strategi komunikasi lintas budaya dimana dalam strategi ini terdapat cara untuk mengatasi perbedaan-perbedaan budaya.

Semakin meningkatnya globalisasi dalam dunia bisnis, sebuah organisasi harus semakin jeli dan selektif dalam memilih strategi-strategi yang digunakan untuk mengatasi perbedaan budaya. Observasi dan evaluasi harus dilakukan se-efektif mungkin agar dapat menentukan dan membuat suatu strategi komunikasi lintas budaya yang efekti. Komparasi dengan teori-teori yang ada dapat mendukung suatu stretegi komunikasi lintas budaya.

DAFTAR REFERENSI
Roudhonah. 2007. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKIS.
Hardjana, Andre. 2000. System komunikasi Indonesia baru. Jakarta: BIKN.
Http://sbektiistiyanto.files.wordpress.com/2008/02/klb-awal.ppt

Bilingualisme

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
B. Definisi Kedwibahasaan
Telah diketahui bahwa secara harfiah kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dibawah ini adalah pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut:
1. Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2. MacKey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
3. Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
4. Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
5. Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
6. Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perencis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.
Jadi dapat diambil kesimpulan dari definisi-definisi diatas bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
C. Pembagian Kedwibahasaan
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu :
1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:
1. Baeten Beardsmore (1985:22)
Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism)