Revolusi
hijau dipercikkan oleh penciptaan dua varietas unggul tanaman pangan pokok pada
tahun 1960-an. Yang satu ialah varietas unggul padi IR-8 hasil persilangan suatu varietas padi Taiwan dan Indonesia yang
dibuat oleh Dr. Te-Tzu Chang dkk. di IRRI, Filipina (Kinley, 1990). Yang lain ialah
varietas unggul gandum yang dibuat oleh Dr. Norman Borlaug dkk . di CIMMYT, Mexico (Brown, 1993). Dengan revolusi hijau
padi Indonesia berhasil membebaskan diri dari devisit pangan kronis, sedang Thailand
berhasil mengubah diri menjadi pengekspor beras. Dengan revolusi hijau gandum
India dan Pakistan berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan devisit pangan
kronis.
Revolusi hijau Asia yang berhasil mulai dicoba
dibangkitkan di Afrika, suatu benua yang
selalu terlilit kekurangan pangan dan kelaparan. Tanaman pangan pokok yang
dilibatkan terutama jagung dan sorgum (Robson, 1991; Brown, 1993).
Asas Revolusi Hijau
Tekanan
pokok revolusi hijau ialah menaikkan produksi pangan. Sering dikatakan bahwa
strategi revolusi hijau adalah satu-satunya yang ada untuk meningkatkan bekalan
pangan (Shiva,1993). Maka varietas unggul diciptakan yang berdaya tanggap besar
terhadap masukan. Revolusi hijau padi dapat meningkatkan produksi gabah secara
dramatis di daerah-daerah yang air dapat dikendalikan atau diirigasi, laju
adopsi varietas unggul tinggi, pupuk yang bertindak cepat digunakan secara
berbanyak-banyak, hama dan penyakit utama dikendalikan secara kimiawi dan/atau
ketahanan varietas, dan insentif yang menarik berupa subsidi atau dukungan
harga. Dengan menanam varietas unggul berumur pendek dapat dilakukan monokultur
ganda (Chang, 1991). Menurut Shiva (1993) revolusi hijau tidak didasarkan atas
kemandirian akan tetapi ketergantungan, tidak berdasarkan keanekaragaman akan
tetapi keseragaman. Pertanian dikembangkan dari sudut pandang peningkatan
dukungan sektor publik, yaitu kredit, subsidi, dukungan harga dan penyediaan
prasarana, dan peningkatan masukan belian ( purchased inputs ).
Indonesia
berhasil dengan revolusi hijau padi karena beruntung memiliki iklim dan tanah
yang sesuai, mampu menyediakan dana cukup karena bertepatan dengan memuncaknya
harga komoditas andalan ekspor minyak bumi di pasaran dunia, organisasi
penyuluhan yang telah terbina baik, dan suasana polotik serta keamanan yang
pada umumnya mantap. Dengan dana yang tersedia cukup dapat dibangun sarana
irigasi yang mahal, dikembangkan lahan rawa pasang surut, menyediakan kredit,
dan memberikan subsidi kepada sarana produksi serta dukungan harga.
Buntut
Revolusi Hijau
Dalam
memasuki dua dasa warsa, revolusi hijau menghadapi tantangan mempertanggungjawabkan
jatidirinya. Muncul dua aliran pendapat yang saling bertentangan yang sampai
pada waktu ini rupa-rupanya belum mau menyurut. Aliran yang satu membela
mati-matian kebenaran revolusi hijau sebagai strategi yang tepat bagi pengamanan
pangan ( food security ) di dunia ketiga. Aliran yang lain mencerca revolusi hijau
yang sandarannya pada teknologi benih-pupuk adalah kontraproduktif apabila
dilihat dari segi sumberdaya dan lingkungan, mempertahankan maslahat ekonomi
semu dengan subsidi dan dukungan harga, dan memberikan peluang maju lebih
banyak kepada petani berlahan baik yang berjumlah lebih sedikit daripada kepada
mereka yang hidup di lahan piasan ( marginal ) yang berjumlah jauh labih
banyak.
Salah
satu tokoh pembela revolusi hijau adalah Dr. Borlaug sendiri, pencipta varietas
unggul gandum. Menurut dia yang penting ialah peningkatan produksi total
nasional yang menyediakan bagi konsumen bahan pangan lebih banyak dan lebih
murah terlepas dari siapa petani yang menghasilkannya. Dia juga tidak percaya
bahwa bekalan pangan dunia telah terasuki zat-zat kimia secara berbahaya karena
penggunaan pestisida, insektisida dan herbisida. Ancaman terbesar terhadap
lingkungan bukanlah teknologi pertanian, melainkan pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali yang memakan habis segala perolehan yang dihasilkan ilmu
(Brown, 1993).
Dalam
membicarakan keterlanjutan dalam konteks Asia, von Uexkull (1992) mendukung
strategi revolusi hijau. Sebelum penggal kedua abad ini kebutuhan pangan
penduduk yang bertumbuh lambat dapat dipenuhi dengan pemekaran lahan budidaya,
perbaikan irigasi, perbaikan ragam spesies ( strain ), pengolahan tanah lebih
baik, dan pelaksanaan agronomi lebih baik. Kesuburan tanah dapat dijaga atau
bahkan diperbaiki dengan pelaksanaan usaha tani penghemat kesuburan. Akan
tetapi dalam kedua penggal abad ini keadaan sekonyong-konyong berubah. Semua
lahan yang sesuai secara potensial untuk budidaya padi sudah tergunakan habis,
padahal penduduk bertambah secara cepat. Tidak ada jalan lain dari pada
mengganti pertanian yang bergantung pada tanah, yang statis akan tetapi mantap
dengan pertanian yang bergantung pada pupuk. Di Asia masa sekarang pertanian
berkelanjutan tidak mungkin diceraikan dari pupuk. Revolusi hijaulah yang
mengganti pertanian Asia. Seandainya tidak ada revolusi hijau, ratusan juta
orang di Asia akan mati kelaparan.
Di
Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi
Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian
dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang
Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan
dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek
samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam
kehidupan dunia pertanian.
Gerakan
revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu,
pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk
kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati
swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan
menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian
pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah
dikontrol pemerintah.
Bahan
kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak
struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak
ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani
sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan
imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak
terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian
cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan
kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah.
Namun berakibat berbagai organisme penyubur tanah musnah kesuburan tanah
merosot/tandus. Tanah mengandung residu (endapan pestisida) Hasil pertanian
mengandung residu pestisida Keseimbangan ekosistem rusak Terjadi peledakan
serangan dan jumlah hama. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis
hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan
budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup
manusia.
Petani
merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh
membiakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa
genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat
banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul,
sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan
pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya,
yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan
dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan
petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat
dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida,
benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi
pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan
Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi
kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan
uang.