WELCOME TO MY BLOG

Kamis, Oktober 06, 2011

Ciri Sekolah Yang Baik

Merujuk pada pemikiran Edward Sallis, Sudarwan Danim (2006) mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:

1. Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
2. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul , dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.
3. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis” yang sangat sulit memperbaikinya..
4. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.
5. sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya
6. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
7. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.
8. Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.
9. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horozontal.
10. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.
11. Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.
12. Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.
13. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan

Sumber:

Sudarwan Danim. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara

Senin, Oktober 03, 2011

Revolusi Hijau


Revolusi hijau dipercikkan oleh penciptaan dua varietas unggul tanaman pangan pokok pada tahun 1960-an. Yang satu ialah varietas unggul padi IR-8 hasil persilangan  suatu varietas padi Taiwan dan Indonesia yang dibuat oleh Dr. Te-Tzu Chang dkk. di IRRI,  Filipina (Kinley, 1990). Yang lain ialah varietas unggul gandum yang dibuat oleh Dr. Norman Borlaug  dkk . di CIMMYT,  Mexico (Brown, 1993). Dengan revolusi hijau padi Indonesia berhasil membebaskan diri dari devisit pangan kronis, sedang Thailand berhasil mengubah diri menjadi pengekspor beras. Dengan revolusi hijau gandum India dan Pakistan berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan devisit pangan kronis.
 Revolusi hijau Asia yang berhasil mulai dicoba dibangkitkan di Afrika,  suatu benua yang selalu terlilit kekurangan pangan dan kelaparan. Tanaman pangan pokok yang dilibatkan terutama jagung dan sorgum (Robson, 1991; Brown, 1993).
 Asas Revolusi Hijau
Tekanan pokok revolusi hijau ialah menaikkan produksi pangan. Sering dikatakan bahwa strategi revolusi hijau adalah satu-satunya yang ada untuk meningkatkan bekalan pangan (Shiva,1993). Maka varietas unggul diciptakan yang berdaya tanggap besar terhadap masukan. Revolusi hijau padi dapat meningkatkan produksi gabah secara dramatis di daerah-daerah yang air dapat dikendalikan atau diirigasi, laju adopsi varietas unggul tinggi, pupuk yang bertindak cepat digunakan secara berbanyak-banyak, hama dan penyakit utama dikendalikan secara kimiawi dan/atau ketahanan varietas, dan insentif yang menarik berupa subsidi atau dukungan harga. Dengan menanam varietas unggul berumur pendek dapat dilakukan monokultur ganda (Chang, 1991). Menurut Shiva (1993) revolusi hijau tidak didasarkan atas kemandirian akan tetapi ketergantungan, tidak berdasarkan keanekaragaman akan tetapi keseragaman. Pertanian dikembangkan dari sudut pandang peningkatan dukungan sektor publik, yaitu kredit, subsidi, dukungan harga dan penyediaan prasarana, dan peningkatan masukan belian ( purchased inputs ).
Indonesia berhasil dengan revolusi hijau padi karena beruntung memiliki iklim dan tanah yang sesuai, mampu menyediakan dana cukup karena bertepatan dengan memuncaknya harga komoditas andalan ekspor minyak bumi di pasaran dunia, organisasi penyuluhan yang telah terbina baik, dan suasana polotik serta keamanan yang pada umumnya mantap. Dengan dana yang tersedia cukup dapat dibangun sarana irigasi yang mahal, dikembangkan lahan rawa pasang surut, menyediakan kredit, dan memberikan subsidi kepada sarana produksi serta dukungan harga.
Buntut Revolusi Hijau
Dalam memasuki dua dasa warsa, revolusi hijau menghadapi tantangan mempertanggungjawabkan jatidirinya. Muncul dua aliran pendapat yang saling bertentangan yang sampai pada waktu ini rupa-rupanya belum mau menyurut. Aliran yang satu membela mati-matian kebenaran revolusi hijau sebagai strategi yang tepat bagi pengamanan pangan ( food security ) di dunia ketiga. Aliran yang lain mencerca revolusi hijau yang sandarannya pada teknologi benih-pupuk adalah kontraproduktif apabila dilihat dari segi sumberdaya dan lingkungan, mempertahankan maslahat ekonomi semu dengan subsidi dan dukungan harga, dan memberikan peluang maju lebih banyak kepada petani berlahan baik yang berjumlah lebih sedikit daripada kepada mereka yang hidup di lahan piasan ( marginal ) yang berjumlah jauh labih banyak.
Salah satu tokoh pembela revolusi hijau adalah Dr. Borlaug sendiri, pencipta varietas unggul gandum. Menurut dia yang penting ialah peningkatan produksi total nasional yang menyediakan bagi konsumen bahan pangan lebih banyak dan lebih murah terlepas dari siapa petani yang menghasilkannya. Dia juga tidak percaya bahwa bekalan pangan dunia telah terasuki zat-zat kimia secara berbahaya karena penggunaan pestisida, insektisida dan herbisida. Ancaman terbesar terhadap lingkungan bukanlah teknologi pertanian, melainkan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali yang memakan habis segala perolehan yang dihasilkan ilmu (Brown, 1993). 
Dalam membicarakan keterlanjutan dalam konteks Asia, von Uexkull (1992) mendukung strategi revolusi hijau. Sebelum penggal kedua abad ini kebutuhan pangan penduduk yang bertumbuh lambat dapat dipenuhi dengan pemekaran lahan budidaya, perbaikan irigasi, perbaikan ragam spesies ( strain ), pengolahan tanah lebih baik, dan pelaksanaan agronomi lebih baik. Kesuburan tanah dapat dijaga atau bahkan diperbaiki dengan pelaksanaan usaha tani penghemat kesuburan. Akan tetapi dalam kedua penggal abad ini keadaan sekonyong-konyong berubah. Semua lahan yang sesuai secara potensial untuk budidaya padi sudah tergunakan habis, padahal penduduk bertambah secara cepat. Tidak ada jalan lain dari pada mengganti pertanian yang bergantung pada tanah, yang statis akan tetapi mantap dengan pertanian yang bergantung pada pupuk. Di Asia masa sekarang pertanian berkelanjutan tidak mungkin diceraikan dari pupuk. Revolusi hijaulah yang mengganti pertanian Asia. Seandainya tidak ada revolusi hijau, ratusan juta orang di Asia akan mati kelaparan.
Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Gerakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.
Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat berbagai organisme penyubur tanah musnah kesuburan tanah merosot/tandus. Tanah mengandung residu (endapan pestisida) Hasil pertanian mengandung residu pestisida Keseimbangan ekosistem rusak Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh membiakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.

Minggu, Oktober 02, 2011

Nilai dan etika

  Nilai dan etika
Etika keilmuan merupakan etika normatik yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan keilmuannya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuataan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan apa yang seharusnya terjadi.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum.
Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metidologis yang tepat agar dapat dipergunakan oleh masyarakat.
Di bidang etika tangguna jawab seorang ilmuan adalah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kasalahan.
Pada zaman dulu pengadilan inkuisisi Galileo selam kurang lebih 2’5 Abad mempengaruhi proses perkembangan berfikfir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nila-nilai diluar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilai sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuan berjuang untuk menegakan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya semboyan ilmu yang bebas nilai setelah pertarungan kuranglebih 250 tahun, maka para ilmuan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya. Konflik seperti inipun terjadi terhadap ilmu-ilmu social dimana berbagai ideology mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan.
Kejadian ini sering terulang kembali dimana sebagian metafisik keilmuan dipergunakan dari ajaran moral yang terkandung dalam ideology tertentu bukan seperti yang dituntut hakikat keilmuan. Mendapatkan otonomi terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogamatik ini, maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah-masalah praktis. Sehingga konsep ilmiah yang bersifat abstrak dapat berwujud konkrit yang berupa teknologi.

Aksiologi Ilmu Pengetahuan

Filsafat Ilmu
Aksiologi Ilmu Pengetahuan
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan merupakan kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya.
Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali dan Jakarta baru-baru ini. Disinilah ilmu harus di letakkan proporsional dan memihak pada nilai- nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral. Pernyataan di sekitar batas wewenang penjelajahan sains, kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, salah satu aspek pembahasan integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu.[1]
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.[2]
 Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi.
Menurut Suriasumantri (1990:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.[3]
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.[4]
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin ilmu khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu eksprresi keindahan. Ketiga, socio-political life yaitu kehidupan sosial politik.[5]
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang di maksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika keilmuan merupakan etika normative yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan.
Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang yang mempertanggung jawabkan perilaku ilmiahnya.
Ilmu tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk pengertian dan pemahaman. Namun lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Misal, ilmu mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir. Bertrand Russell menyebut perkembangan ini sebagi peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral bersangkutan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini berkaitan dengan masalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengmbangan konsep terdapat masalah moral yang di tinjau dari segi ontology keilmuan sedangkan dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
Peradaban manusia bergerak seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kedua hal tersebut, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, terdapat sisi buruk dari imu yaitu sejak dalam tahap pertama pertumbuhannnya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi. Ilmu tidak saja bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman tetapi bertujuan untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.


[2] Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta Reneka Cipta, 1997)
[3] Suriasumantri, Jujun S.1990. Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[5] Jalaluddin dan Abdullah ldi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997), cet. Ke-1. Hlm. 106

Download BSE



Buku Sekolah Elektronik (BSE) merupakan terobosan jitu dari pemerintah untuk menyediakan buku teks berkualitas dengan harga murah. Namun saat ini niatan baik pemerintah tersebut tampaknya kurang tersosialisasikan, sehingga belum banyak pihak yang dapat merasakan manfaatnya. Kondisi ini diperparah oleh kesiapan penguasaan ketrampilan dan sarana prasarana TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang tersedia di lingkungan sekolah.


Saya memiliki beberapa BSE yang mungkin dapat membantu anda
Monggo silahkan diunduh



ini link nya