WELCOME TO MY BLOG

Jumat, Juni 11, 2010

Masyarakat Bahasa

Salah satu asumsi pokok kelahiran Sosiolinguistik sebagai cabang ilmu Bahasa adalah bahwa masyarakat bahasa bersifat heterogen, baik antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya, atau pula di antara anggota dalam masyarakat bahasa yang sama. Heterogenitas itu ditandai oleh berbagai perbedaan sosial seperti status sosial, peran sosial, jenis kelamin, umur, latarbelakang etnik, lingkungan, pendidikan, dan agama. perkembangan yang cukup berarti setelah dua dekade belakangan ini mengenai batasan masyarakat bahasa.
Bagi Dell Hymes (1972), masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi bahasa yang sama. Hymes memandang bahwa syarat aturan (rules) dan variasi (variety) yang sama harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, jika ia ingin diakui dalam lingkup masyakarakat bahasa yang sama.
Pandangan di atas mulai bergeser ketika orang sudah dapat mengerti satu sama lain walaupun mereka menggunakan aturan dan variasi yang berbeda. Pergeseran ini terjadi akibat desakan zaman yang umum dikenal sebagai globalisasi atau pensejagatan yang benar-benar tidak terbendung lagi. Penduduk dengan segala atribut yang mengikutinya, tidak terkecuali bahasa, berpindah secara geografis atau maya dalam ruang yang nyaris tidak berbatas. Teknologi transportasi yang canggih telah memudahkan orang berpindah tempat, dan teknologi maya yang super canggih telah pula memudahkan orang untuk berkomunikasi tanpa harus bergerak dari tempat tinggalnya. Web pengetahuan bahasa lokal, regional, maupun internasional semakin bertambah dalam pikiran orang-orang yang menggunakan jasa teknologi di atas, bahkan orang-orang semacam ini semakin lama semakin banyak jumlahnya. Walaupun realitas akan terus bergerak, namun definisi masyarakat bahasa pun sewajarnya diredefinisi seperti dikemukakan Spolsky (2003: 24) bahwa aturan-aturan itu bisa saja sama atau berbeda.
Baginya, ketika semua orang berbicara dalam satu bahasa dengan menggunakan fonologi dan tatabahasa yang sama atau berbeda secara bersama-sama, ketika itu mereka dapat dikategorikan sebagai satu kelompok masyarakat bahasa. Tentunya bahasa yang digunakan tidak menjadi kendala terhadap pemahaman mereka satu sama lain.
Batas-batas yang semakin mencair sebenarnya menyulitkan orang untuk mengidentifikasi secara persis si A termasuk anggota masyarakat bahasa A, dan si B termasuk anggota masyarakat B karena fenomena seseorang menjadi multilingual sekaligus multikultural sekarang ini sangat mungkin terjadi. Fenomena yang terus bergulir ini semakin menemukan titik terang terhadap asumsi awal kaum sosiolinguis yang bersikukuh bahwa masyarakat bahasa tidak pernah ideal dalam sifat kehomogenan, sebaliknya masyarakat bahasa selalu heterogen, bahkan mutlak heterogen.
Yang menarik dari heterogenitas itu adalah bahwa realitas perbedaan sosial memberi atau memperoleh dampak pemakaian bahasa. Semua dampak yang ditimbulkan dalam pemakaian bahasa ini dipelajari dalam kerangka etnografi komunikasi. Dalam studi sosiolinguistik, etnografi komunikasi ini merupakan akses untuk meneliti fenomena kebahasaan lebih mendalam karena dalam upaya pemerian komunikasi inilah terkandung unsur-unsur bahasa yang dituturkan secara alami (naturally occuring language) berikut dengan segenap konteks yang mempengaruhinya.
Clifford Geertz, antropolog dunia yang terkenal karena banyak penelitiannya dilakukan di Jawa, menyatakan bahwa untuk memahami sebuah ilmu yang pertama harus diamati bukanlah teori-teori atau hasil penemuannya, bukan pula pembelaannya, tetapi lihatlah apa yang dilakukan oleh pemakai ilmu itu. Apa yang dilakukan mereka adalah etnografi. Dalam konteks ilmu antropologi, etnografi yang dimaksud adalah sebuah deskripsi perilaku dalam sebuah kebudayaan tertentu yang dihasilkan dari kerja lapangan (fieldwork). Lebih spesifik, Geertz berpendapat bahwa etnografi adalah upaya menginterpretasikan makna suatu perilaku yang mengacu pada pengelompokan budaya tempat perilaku itu dihasilkan, dirasakan, dan ditafsirkan. Konsep-konsep ini tentunya sangat bermanfaat menjadi dasar dalam kajian Sosiolinguistik berikutnya.
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan. fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Jadi verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa.Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu
  1. Masyarakat monolingual (satu bahasa)
  2. masyarakat bilingual (dua bahasa)
  3. masyarakat multilingual (lebih dari 2 bahasa)
Nama : Khairul Anwar
NIM : 108015000088

Tidak ada komentar:

Posting Komentar