Selama lebih dari 2000 tahun, kata Fisher (1986), konsep makna telah memukau para filsuf dan sarjana – sarjana sosial. “makna”, ujar Spradley (1997). “menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.
Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banayk komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat.
Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu menoleh kembali kepada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Sausure, bapak linguistic modern asal perancis. Didalam bukunya yang terkenal, course in general linguistic (1916), ia menyebut istilah tanda linguistic. Menurutnya, setiap tanda linguistic terdiri atas dua unsur yakni(1)yang diartikan dan(2) yang mengartikan. Yang diartikan sebenarnya tidak lain dari konsep atau makna dari sesuatu tanda – bunyi. Sedangkan yang mengartikan itu adalah tidak lain dari bunyi – bunyi itu, yang terbentuk dari fonem – fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Efektivitas komunikasi bahasa sebagian besar ditentukan oleh pola semantic bahasa, yaitu makna referensial dan makna gramatikal. Makna referensial meletakkan hubungan antara kata atau bentuk bahasa dengan dunia luar bahasa (kognitif, sosial, atau fisik)
Teori Acuan
Menurut Alston, teori acuan atau teori referensial ini merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau menidentifikasi makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Istilah referen itu sendiri menurut Palmer(1976:30) “reference deals with the relationship between the linguistic element, word, sentences, etc, and the nonlinguistic word of experience” (hubungan antara unsur – unsur linguistic berupa kata – kata, kalimat – kalimat dan dunia pengalaman yang non linguistik.
Referen atau acuan boleh saja benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambing. Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambing tersebut yakni tanah yang berlubang lebar dan panjang tempat mengalir air dari hulu ke danau atau laut. Kata sungai langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin timbul asosiasi yang lain. Bagi mereka yang pernah melihat sungai, atau pernah mandi di sungai, sudah barang tentu mudah memahami apa yang dimaksud dengan sungai.
Makna Sebagai Arti dan Referensi
Pada bab – bab terdahulu telah dikatakan bahwa dialektika peristiwa dan makna merupakan suatu dialektika inti dari makna wacana. Untuk memaknai apa yng dilakukan pembicara, juga apa yang dinyatakan oleh kalimat. Makna ujaran pada makna isi preposisi merupakan sisi obyektif dari makna, sedangkan makna pengujar pada makna referensi kalimat dan kehendak yang diketahui pendengan merupakan sisi subyektif dari makna.
Dialektika obyektif-subyektif tidaklah memberi penyelesaian makna, oleh karena itu tidak menyelesaikan struktur wacana. Sisi obyektif wacana itu sendiri dapat diberikan dengan dua cara. Kita dapat memaknai ‘apa’ dan ‘tentang apa’ wacana itu merupakan ‘referensi’. Ini merupakan perbedaan yang dapat langsung dihubungkan dengan perbedaan semiotik dan semantic.
‘mengacu’ merupakan apa yang dilakukan kalimat pada situasi tertentu dan menurut kegunaan tertentu, juga apa yang dilakukan pembicara ketika ia menerapkan kata – katanya pada kenyataan. Seseorang mengacu kepada sesuatu, pada saat tertentu merupakan peristiwa ujar. Tetapi peristiwa ini, menerima strukturnya dari makna sebagai arti. Dengan cara ini dialektika peristiwa dan makna menerima perkembangan baru dari dialektika arti dan referensi. Dialketika arti dan referensi inilah yang memberikan hubungan antara bahasa dan kondisi ontologis yang ada di dunia.
Kita mengandaikan bahwa sesuatu berada dalam susunan, sehingga sesuatu itu bisa diidentifikasi, tetapi kita memerlukan sebuah referensi. Pengendalian ini diperlukan, sehingga kita harus menambahkan ketentuan – ketentuan yang spesifik jika kita ingin mengacu ke sesuatu yang sifatnya fiktif.
Kebermaknaan universal dari problem referensi sangatlah luas, wacana mengacu kembali pada pembicaranya, pada saat yang sama hal itu mengacu kepada dunia. Wacana dalam tindakan dan dalam kegunaan mengacu kembali dan datang lagi menuju pembicara dan dunia. Ini merupakan criteria pokok dari bahasa sebagai wacana.
Beberapa Implikasi Hermeneutic
Implikasi ini berhubungan dengan penggunaan dan penyalahgunaan konsep peristiwa ujar pada tradisi romantic tentang hermeneutika. Hermeneutic sebagai pokok persoalan Scleimacher dan Dilthey, cenderung untuk mengidentifikasi pemahaman sebgai pengenalan kehendak pengarang dari sudut pandang pembaca yang awam pada situasi wacana yang asli. Prioritas yang diberikan pada kehendak pengarang dan pembaca, cenderung membuat dialog dari setiap situasi pemahaman. Hal inilah yang menjadikan kerangka intersubyektifitas hermeneutic. Pemahaman teks hanyalah merupakan kasus khusus dari situasi dialogis, dimana seseorang memberi respon yang lainnya.
Hermeneutika dari sudut pandang filsafat wacana, membebaskan hermeneutika dari prasangka eksistensial dan kepsikologisannya. Asumsi hermeneutika psikologis berakar dari kesalahpahaman ganda dari dialketik peristiwa dan makna pada wacana, dan dialektika arti dan referensi dalam makna itu sendiri. dua kesalahpahaman ini akhirnya membawa pada penentuan tugas yang salah terhadap interpretasi, sebuah tugas yang diungkapkan dengan baik pada slogan “untuk memahami pengarang lebih penting daripada memahami diri sendiri” . oleh karena itu apa yang menjadi tonggak pembicaraan ini, merupakan definisi yang tepat dari tugas hermeneutika.
Menurut Ricoeur, interpretasi tidak pernah berakhir. Interpretasi selalu bersifat opend-ended. Jika kita mendapatkan titik akhit sebuah interpretasi,ini berarti ‘pemerkosaan’ terhadap interpretasi.
Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu menoleh kembali kepada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Sausure, bapak linguistic modern asal perancis. Didalam bukunya yang terkenal, course in general linguistic (1916), ia menyebut istilah tanda linguistic. Menurutnya, setiap tanda linguistic terdiri atas dua unsur yakni(1)yang diartikan dan(2) yang mengartikan. Yang diartikan sebenarnya tidak lain dari konsep atau makna dari sesuatu tanda – bunyi. Sedangkan yang mengartikan itu adalah tidak lain dari bunyi – bunyi itu, yang terbentuk dari fonem – fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Efektivitas komunikasi bahasa sebagian besar ditentukan oleh pola semantic bahasa, yaitu makna referensial dan makna gramatikal. Makna referensial meletakkan hubungan antara kata atau bentuk bahasa dengan dunia luar bahasa (kognitif, sosial, atau fisik)
Teori Acuan
Menurut Alston, teori acuan atau teori referensial ini merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau menidentifikasi makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Istilah referen itu sendiri menurut Palmer(1976:30) “reference deals with the relationship between the linguistic element, word, sentences, etc, and the nonlinguistic word of experience” (hubungan antara unsur – unsur linguistic berupa kata – kata, kalimat – kalimat dan dunia pengalaman yang non linguistik.
Referen atau acuan boleh saja benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambing. Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambing tersebut yakni tanah yang berlubang lebar dan panjang tempat mengalir air dari hulu ke danau atau laut. Kata sungai langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin timbul asosiasi yang lain. Bagi mereka yang pernah melihat sungai, atau pernah mandi di sungai, sudah barang tentu mudah memahami apa yang dimaksud dengan sungai.
Makna Sebagai Arti dan Referensi
Pada bab – bab terdahulu telah dikatakan bahwa dialektika peristiwa dan makna merupakan suatu dialektika inti dari makna wacana. Untuk memaknai apa yng dilakukan pembicara, juga apa yang dinyatakan oleh kalimat. Makna ujaran pada makna isi preposisi merupakan sisi obyektif dari makna, sedangkan makna pengujar pada makna referensi kalimat dan kehendak yang diketahui pendengan merupakan sisi subyektif dari makna.
Dialektika obyektif-subyektif tidaklah memberi penyelesaian makna, oleh karena itu tidak menyelesaikan struktur wacana. Sisi obyektif wacana itu sendiri dapat diberikan dengan dua cara. Kita dapat memaknai ‘apa’ dan ‘tentang apa’ wacana itu merupakan ‘referensi’. Ini merupakan perbedaan yang dapat langsung dihubungkan dengan perbedaan semiotik dan semantic.
‘mengacu’ merupakan apa yang dilakukan kalimat pada situasi tertentu dan menurut kegunaan tertentu, juga apa yang dilakukan pembicara ketika ia menerapkan kata – katanya pada kenyataan. Seseorang mengacu kepada sesuatu, pada saat tertentu merupakan peristiwa ujar. Tetapi peristiwa ini, menerima strukturnya dari makna sebagai arti. Dengan cara ini dialektika peristiwa dan makna menerima perkembangan baru dari dialektika arti dan referensi. Dialketika arti dan referensi inilah yang memberikan hubungan antara bahasa dan kondisi ontologis yang ada di dunia.
Kita mengandaikan bahwa sesuatu berada dalam susunan, sehingga sesuatu itu bisa diidentifikasi, tetapi kita memerlukan sebuah referensi. Pengendalian ini diperlukan, sehingga kita harus menambahkan ketentuan – ketentuan yang spesifik jika kita ingin mengacu ke sesuatu yang sifatnya fiktif.
Kebermaknaan universal dari problem referensi sangatlah luas, wacana mengacu kembali pada pembicaranya, pada saat yang sama hal itu mengacu kepada dunia. Wacana dalam tindakan dan dalam kegunaan mengacu kembali dan datang lagi menuju pembicara dan dunia. Ini merupakan criteria pokok dari bahasa sebagai wacana.
Beberapa Implikasi Hermeneutic
Implikasi ini berhubungan dengan penggunaan dan penyalahgunaan konsep peristiwa ujar pada tradisi romantic tentang hermeneutika. Hermeneutic sebagai pokok persoalan Scleimacher dan Dilthey, cenderung untuk mengidentifikasi pemahaman sebgai pengenalan kehendak pengarang dari sudut pandang pembaca yang awam pada situasi wacana yang asli. Prioritas yang diberikan pada kehendak pengarang dan pembaca, cenderung membuat dialog dari setiap situasi pemahaman. Hal inilah yang menjadikan kerangka intersubyektifitas hermeneutic. Pemahaman teks hanyalah merupakan kasus khusus dari situasi dialogis, dimana seseorang memberi respon yang lainnya.
Hermeneutika dari sudut pandang filsafat wacana, membebaskan hermeneutika dari prasangka eksistensial dan kepsikologisannya. Asumsi hermeneutika psikologis berakar dari kesalahpahaman ganda dari dialketik peristiwa dan makna pada wacana, dan dialektika arti dan referensi dalam makna itu sendiri. dua kesalahpahaman ini akhirnya membawa pada penentuan tugas yang salah terhadap interpretasi, sebuah tugas yang diungkapkan dengan baik pada slogan “untuk memahami pengarang lebih penting daripada memahami diri sendiri” . oleh karena itu apa yang menjadi tonggak pembicaraan ini, merupakan definisi yang tepat dari tugas hermeneutika.
Menurut Ricoeur, interpretasi tidak pernah berakhir. Interpretasi selalu bersifat opend-ended. Jika kita mendapatkan titik akhit sebuah interpretasi,ini berarti ‘pemerkosaan’ terhadap interpretasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar