FENOMENOLOGI
Dunia-kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang telah dilupakan oleh ilmu pengetahuan”, begitulah ujar Husserl, pencetus fisafat fenomenologi. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya secara filosofis. Dunia kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Sayangnya, dunia kehidupan itu sudah dilupakan. Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenomenologi menyerukan zuruck zu de sachen selbt (kembali kepada benda-benda itu sendiri), yaitu upaya untuk menemukan kembali dunia kehidupan.
Pemikiran fenomenologi bukan merupakan sebuah gerakan pemikiran yang koheren. Ia mungkin lebih merefleksikan pemikiran dari beberapa filsuf, termasuk didalamnya Edmund Husserl, Maurice Merleau Ponty, Martin Heidegger dan Alfred schutz. Pada bagian ini kita membahas dua garis besar dalam pemikiran fenomenologi: fenomenologi transedental seperti yang telah digambarkan dalam kerja Edmund Hursserl dan fenomenologi social yang digambarkan oleh Alfred Schutz. Meski dua pemikiran itu punya tujuan dan metode yang berbeda, mereka mempunyai kesamaan dari sudut pandang fenomenologi yang telah digaris bawahi oleh Deetz dalam hubungannya dengan studi komunikasi.
Pertama dan prinsip paling dasar dari fenomenologi yang secara jelas dihubungkan dengan idealisme jerman dalam bab ini adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman external tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektifitas sebab akibat dan penjelasan universal. Kedua, makna adalah derivasi oleh potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian, makna sebuah pohon yang tumbuh dihalaman belakang dapat berkisar dalam makna indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan kontruksi makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup.
Ketiga, kalangan fenomenolog percaya bahwa dunia dialami dan makna dibangun melalui bahasa. Asumsi ini mengikuti pendapat kalangan konstruktifisme social yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya, ketiga dasar fenomeologi ini mempunyai perbedaan derajat signifikansi, bergantung pada aliran tertentu pemikiran fenomenologi yang akan dibahas.
Fenomenologi transcendental (kadang disebut fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang fisikiawan dan ahli matematika yang kemudian memfokuskan dirinya pada isu-isu pundamental mengenai bagaimana kita dapat mengetahui dunia. Focus perhatiannya adalah tesis adalah keseharian hidup kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur dengan konsep-konsep yang diterima begitu saja (taken for granted) yang kemudian menjadi sebuah kebenaran umum. Contohnya, interaksi kita di meja makan pada saat makan malam mungkin dikatakan sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggota keluarga, namun kita biasanya menerima interaksi ini begitu saja, serta makna yang mereka dapatkan. Karena kekaburan esensi pengalaman ini, Husserl percaya bahwa “inti usaha fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah kehidupan sehari-hari dengan tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara cermat dan dalam rangka menggambarkan serta meperhitungkan struktur esensialnya”.
Tujuan dari pemurnian ini, menurut Husserl telah dicapai melalui metode apoche. Metode ini meliputi pemberian tanda kurung (bracketing) atau menunda sikap-sikap alamiah dari hal-hal kehidupan yang diterima begitu saja dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih murni dari fenomena yang diinvestigasi. Menurut aliran fenomenologi transcendental, pemahaman yang benar atas sebuah fenomena dapat dinilai hanya bias-bias personal, sejarah, nilai dan keterkaitan dapat dimurnikan (meletakan dalam sebuah satuan pengalaman berdasarkan waktu investigasi.
Berdasarkan pemikiran fenomenologi transcendental ini, filsuf-filsuf lain kemudian bergerak kesebuah pemikiran yang aktif terhadap dunia social dari pengalaman keseharian. Dalam wilayah yang dikenal sebagai fenomenologi social itu, tulisan Alfred schutz (1899-1959) telah mempunyai pengaruh yang kuat dalam kerja ilmuan sosiologi dan komunikasi,. Schutz menerima banyak prinsip dasar yang dibangun Husserl, kecuali ajaran tentang penundaan (pemberian tanda kurung) atas kehidupan dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Dia membahas cara-cara agar intersubjektifitas kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami. Dengan kata lain, schutz lebih menitikberatkan pada intensitas pembelajaran tentang lebenswelt, bukan pada prinsip pemberian tanda kurung atasnya (penundaan makna dan definisi kita terhadap realitas). Menurut schutz, keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam term-term yang kemudian disebutnya sebagai perlambangan yang digunakan untuk mengorganisasikan dunia social.
Dengan demikian, fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Fenomenologi transcendental dan fenomenologi social menegaskan pentingnya dunia kehidupan sehari-hari sebagai sebuah objek study. Keduanya juga mencatat bahwa pemahaman kita terhadap kehidupan dunia sering kabur oleh “kesangat lazimannya” untuk keluar darinya, fenomenologi social mempunyai sebuah pendekatan dan pembedaharan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan.
Nama: Ade Supriatna
Nim: 108015000102
WELCOME TO MY BLOG
Sabtu, Juni 12, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar