Fenomenologi ( phenomenology)
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran. Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi. (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia. Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi.
Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya. Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi dalam dunia kehidupan.
Fenomenologi menyatakan bahwa kategori-kategori tentang filsafat telah membagi pengalaman pada masa lampau yang tidak cukup bagi pengalaman, karena kategori-kategori harus mematahkan pengalaman yang berkelanjutan menjadi hal-hal dan membiarkan pemahaman permasalahan yang dihidupkan antara pikiran dan realita itu lewat dan berlalu. Jadi perspektif-perspektif baru tentang pengalaman ditawarkan, sehingga membuat sifat pikiran serta realita saling jalin-menjalin sebagai “starting point”nya. Pengalaman, demikian pernyataan Brentano dalam “Psikologi dari Kehidupan Empiris” (1874) sebenarnya intensional, yaitu selalu terarah ke objek. dan selalu mengalalmi sesuatu. Pengalaman adalah sedemikian, sehingga akan selalu ada isi dan yang lain dari mana kita sadar, tidak menjadi persoalan serta bagaimana tidak siapnya kita menjelaskan apa yang ada di depannya, misalnya jalan ini, pohon ini, merah ini, kebingungan yang berdengung ini, dan lainnya . Dari struktur pengalaman intensional, mendasar, dimana satu hal (pengalaman) dapat terbuka menjadi dua hal (pengalaman dari sesuatu), fenomenologi ditentukan untuk menjelaskan kembali penampilan - penampilan. Hesserl adalah yang pertama menjalankan redeskripsi fenomenologis terbesar dalam fenomena. Dalam tulisan-tulisannya ia mempunyai prinsip bahwa “ide-ide yang menyinggung fenomenologi murni dan Filsafat Murni” (19130 dan “Meditasi Cartesian” (1931). Husserl me nerapkan reduksi fenomenologinya agar dapat memberikan ekspresi verbal pada kejadian-kejadian mental di saat kejadian-kejadian tersebut muncul pada kesadaran, bebas dari komitmen terhadap eksistensi orang-orang lain, tempat-tempat lain, objek-objek fisik, sebab-akibat serta sehari-hari yang tidak kritis.
Studi terhadap manusia terkait dengan permasalahan menyangkut tindakan yang penuh makna. Seseorang manusia itu dapat merasakan dunia ini sarat dengan makna dan tindakan yang penuh makna pula. Hal inilah yang kemudian merupakan pembeda antara studi tentang manusia dengan ilmu-ilmu fisik. Studi tentang manusia terfokus pada ide-ide, aspirasi, tindakan-tindakan yang memiliki tujuan, kreasi yang artistik, perangkat manusia, peraturan yang dibentuk untuk mereka sendiri, dan lembaga-lembaga yang mereka ciptakan. Pada ilmu-ilmu fisik, perhatian lebih pada problem eksperimental dan spekulasi terhadap materi secara kebendaan dan perhitungannya. Dalam ilmu fisik, sulit dibedakan antara mana yang teori dan mana yang fakta karena teori yang terbentuk semata-mata berasal dari fakta yang secara empiris melekat pada aspek kebendaan yang menjadi objek studinya. Misalnya dalam upaya pengklasifikasian, ilmu fisik lebih kepada mencari unsur-unsur kesamaan pada pola-pola teoritis yang telah ada secara umum tanpa harus terlebih dahulu mengutamakan common sense terhadap objek material tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar