WELCOME TO MY BLOG

Rabu, Juni 16, 2010

Makna Pengujar dan Makna Ujaran

Makna Pengujar dan Makna Ujaran
Konsep makna memberikan dua interprestasi. Hal ini mencerminkan adanya dialektika antara pristiwa dan makna. Dua interprestasi tersebut adalah:
1. apa yang dimaksud oleh pembicara, yaitu apa yang dikehendaki dari perkataannya.
2. apa yang dimaksudkan oleh kalimat, yaitu apa yang dihasilkan oleh konjungsi antara fungsi identifikasi dan fungsi fredikatif. Dengan kata lain, makna atau “meaning” merupakan noetic dan neomatic.
Bahasa itu tidak berbicara, tetapi manusia atau oranglah yang berbicara. Jika makna pengujar. (Menurut istilah Paul Grice) yaitu tidak mengurangi kehendak psikologis. Makna mental hanya dapat dapat ditemukan oleh wacana itu sendiri. Makna pengujar memiliki pemerkahnya pada makna ujaran, karena struktur dalam kalimat mengacu kembali pada si pembicaranya melalui prosedur gramatikal yang disebut “shiftes” (pengganti). Pronominal persona misalnya, tidaklah mempunyai makna objektif. Contohnya “I” sebagai ungkapan universal bukan sebagai konsep, karena tidak bisa digantikan oleh seseorang yang sedang berbicara, satu-satunya Fungsi adalah mengacu kepada keseluruhan kalimat terhadap subjek dari pristiwa ujaran “I” mempunyai makna yang berubah setiap saat dan dan setiap digunakan. Dan suatu saat dia mengacu kepada subyek tunggal. “I” adalah seseorang yang berada pada percakapan menerapkan dirinya sendiri pada kata “I” yang muncul pada kalimat sebagai subyek logis. Ada pengganti lain, pembawa referensi gramatikal dari wacana untuk pembicaranya. Ini termasuka kala verba keperluasan yang dipusatkan sekitar kala ini, oleh karena itu mengacu pada kata sekarang, dari peristiwa ujaran dan pembicara. Hal yang sama juga berlaku bagi adverbial waktu, adverbial tempat, dan demonstrative yang mungkin dipertimbangkan sebagai fakta-fakta egosentris. Jadi wacana mempunyai banyak cara pengganti untuk mengacu kembali kepembicaranya.
Perhatian terhadap alat gramatikal dari referensi wacana ini memberikan dua kelebihan yaitu:
1. memberikan criteria baru tentang perbedaan wacana dank ode linguistic.
2. memberikan definisi non fsikologis makna pengujar.
Makana ujaran merujuk pada makna pengujar, karena referensi wacana itu sendiri sebagai sebuah pristiwa. Pendekatan semantic didukung oleh dua konstribusi lain, yaitu dialektika pristiwa dan proposisi.
Sewaktu berkomunikasi, kita itu mengkomunikasikan amanat, dan proses berkomunikasi itu terkondisi oleh berbagai situasi, umpamanya « Ribut » hingga kita harus berteriak, dan dalam situasi formal kita juga harus memilih kata-kata yang formal pula, suasana mengkondusi penyampaian, dan tambah pula bahwa amanat yang sama dapat disampaikan dengan berbagai cara. Singkatnya bentuk amanat itu sendiri adalah satu faktor dalam situasi ujaran. Pertuturan mempunyai 7 macam fokus yang menjadi orientasi kegiatan penuturan yaitu : 1). penutur. 2). Pendengar (penanggap tutur). 3). Kontak antara kedua pihak. 4). Kode linguistik yang dipakai. 5). Latar(setting). 6). Topic amanat dan 7). Bentuk amanat.
Fungsi-Fungsi Ujaran
1. Bila beroreantasi pada sipenutur, maka fungsi bahasa adalah personal atau pribadi. Ini mencerminkan sikap dia terhadap yang dituturkannya. Bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi memperlihatkan emosi dia sewaktu menyampaikan yang dituturkan oleh si pengujar.
2. bila berorientasi pada penanggap tutur, maka bahasa berpungsi directictif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar.
3. bila berorientasi pada pihak pada kontak antar pihak yang sedang berkomunikasi, maka fungsi bahasa sebagai menjalin hubungan, memeliharanya, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial.
4. bila orientasinya pada topik ujaran, maka fungsi bahasa disebut referiential. Ini mengacu bahasa sebagai alat untuk membicarakan objek atau pristiwa dalam lingkungan sekeliling atau dalam kebudayaan pada umumnya.
5. dilihat dari amanat atau message, bahasapun bias untuk mengungkapkan pikiran atau gagasan baik sesungguhnya atau tidak, perasaan dan khayalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar